Entri Populer

Rabu, 11 Januari 2012

Potret Kurikulum Keagamaan Pada Sekolah Islam (Studi di SDIT Gema Nurani Bekasi Utara)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kota Bekasi, sebagai lokasi dimana sekolah Islam terpadu Gema Nurani yang penulis teliti merupakan tempat dengan mayoritas masyarakat aslinya masih menganut agama Islam secara baik dan terdapat pula pendatang dari berbagai daerah yang menjadikan Kota Bekasi sebagai tempat tinggal dikarenakan mereka banyak yang berprofesi sebagai pekerja di Ibu kota Jakarta. Masyarakat asli memang sangat kental dengan nuansa kultur keagamaannya dan sangat meriah jika menghadapi hari-hari besar agama Islam. Agama bagi mereka seperti kebutuhan pokok yang harus terus didapat guna mempersiakan bekal akhiratnya. Nilai-nilai semacam ini terus ditanamkan secara turun-temurun bahkan masyarakat asli berupaya agar pendatang mau mengikuti pola kegiatan keagamaan mereka dan berupaya agar anak-anak mereka pun seperti apa yang diharapkan. Ketika para orang tua yang menjadi sebuah jama’ah seorang Ustad, maka  mereka akan mengikuti segala apa yang dianjurkan dalam setiap dakwahnya dan berimplikasi kepada anak-anak mereka agar menjadi seperti anak yang diharapkan dalam Islam. Lingkungan telah membuat sebuah norma dan nilai untuk mengaturnya, namun keadaan sekarang tidak mudah untuk mendidik anak agar menjadi yang mereka inginkan dikarenakan para orang tua dituntut untuk bekerja dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Dari sinilah masyarakat menganggap perlu adanya sebuah lembaga pendidikan yang mampu mengajarkan anak mereka dalam bidang agama dan pendidikan secara umum.
Kekhawatiran dan keinginan orang tua membuat anaknya terhindar dari perbuatan tercela yang dilarang agama membuat para pengusaha pendidikan membangun sekolah-sekolah berbasis keagamaan dengan tujuan sebagai sarana agar para orang tua lebih tenang dalam menyekolahkan anaknya. Sebuah hal yang menarik di wilayah ini adalah berkurangnya jumlah siswa di sekolah-sekolah umum baik yang berstatus negeri maupun swasta dan mereka beralih memilih sekolah swasta yang berbasis keagamaan. Hal ini seperti menyiratkan kepada kita bahwa rasa kekhawatiran orang tua terhadap tumbuh kembang anaknya sangatlah besar.
Rasa ketidakpercayaan orang tua terhadap sekolah umum biasa nampaknya semakin jelas terlihat, dimana banyak orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anaknya pada sekolah berbasis keagaaman dibandingkan sekolah umum biasa yang pastinya juga terdapat pelajaran agama namun lebih sedikit jam pelajarannya. Terlihat wajar di negara yang berlandaskan keTuhanan banyak tumbuh sekolah berbasis keagamaan terlebih sekolah dengan basis Islam dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam.
Sekolah berbasis agama yang diteliti bukanlah sekolah yang menjalankan kurikulum agama secara penuh, namun sekolah agama yang lebih modern dengan kurikulum yang lebih lengkap dibandingkan dengan sekolah keagamaan (pesantren) seperti lazimnya. Sekolah Islam terpadu, ini adalah sekolah berbasis keagamaan yang sedang diminati oleh orang tua. Hal ini dikarenakan sekolah-sekolah berjenis ini menawarkan lebih banyak muatan agama didalam pelajaran dan kegiatan ekstra kulikulernya dibandingan dengan sekolah umum. Terpadu, sekolah dengan keterangan terpadu ini selain menawarkan sisi keagamaan yang lebih baik juga mengutamakan pelajaran umum sesuai dengan aturan DIKNAS ditambah dengan pelajaran bahasa asing yang lebih banyak jumlah jam pelajarannya. Sisi inilah merupakan keunggulan sekolah ini yang ditawarkan kepada masyarakat yang membutuhkan sekolah yang melahirkan siswa dengan moral yang baik dengan prestasi atau kemampuan diatas siswa-siswa sekolah umum biasa.

B.     Rumusan Masalah
Bermunculannya sekolah-sekolah swasta dengan basis keagamaan membuat sebagian hati para orang tua lebih tenang dalam menyekolahkan anak-anak mereka. Seperti kita ketahui, selalu saja ada kendala dalam membangun sebuah usaha terutama sebuah usaha pendidikan dengan bentuk sekolah. Sekolah Gema Nurani yang berafiliasi dengan jaringan sekolah Islam terpadu dengan segala keunggulannya telah menawarkan ketenangan hati untuk para orang tua murid akan keberhasilan anak-anaknya menjadi manusia yang sesuai dengan visi dan misi sekolah ini. Namun hambatan-hambatan datang ketika sekolah ini dengan status sekolah swasta yang diharuskan mencari dana secara mandiri dengan berarti diharuskannya para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah ini harus mempunyai uang yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan fasilitas sekolah berjenis ini lebih baik daripada sekolah swasta maupun negeri pada umumnya yang alakadarnya.
Fasilitas yang baik harus dibayar dengan harga yang baik pula seperti kata pepatah “ada harga, ada rupa” dan dengan fasilitas yang baik diharapkan mengasilkan lulusan yang baik melebihi sekolah lain pada umumnya dan sesuai dengan visi dan misi sekolah. Dengan harga yang tidak sedikit ini menjadikan tidak semua orang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah ini dan walaupun pada profil sekolah ini tidak membawa embel-embel salah satu ormas Islam, namun disaat perayaan lebaran dimana sekolah ini dijadikan tempat bagi para penganut Islam Muhammadiyah untuk melakukan sholat Idul Fitri yang dilakukan sesuai dengan keputusan ormas Muhammadiyah dibandingkan dengan keputusan pemerintah. Dari rumusan masalah diatas, maka terdapat 2 pertanyaan penelitian yang menarik untuk dikaji lebih jauh.
1.      Apa sajakah dampak sosial yang disebabkan oleh kehadiran sekolah ini?

C.    Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis ingin mencoba melihat kurikulum sekolah ini dari aspek sosiologi dengan menggunakan beberapa teori yang ada. Sekolah berbasis keagamaan yang dijadikan target penelitian adalah sekolah yang berafiliasi dengan Jaringan Sekolah Islam Terpadu dimana ingin menciptakan siswa-siswa yang cerdas dengan ahlak Islam yang baik. Bila kita melihat latar belakang munculnya sekolah-sekolah dengan jenis ini, lebih jauh kita melihat bahwa kebutuhan akan adanya sekolah yang mengajarkan nilai-nilai keagaaman dengan serius dalam kurikulumnya merupakan sebuah harapan orang tua.
Harapan di masa yang menurut mereka telah rawan akan hilangnya nilai-nilai islami dari kehidupan anak-anaknya dikarenakan orang tua yang sibuk bekerja atau mungkin orang tua yang kurang mampu atau hanya alakadarnya mengajarkan ilmu-ilmu Islam secara baik. Kekhawatiran orang tua akan perilaku anaknya di lingkungannya membuat orang tua menginginkan anak mereka sekolah di tempat yang mampu membuat anaknya memiliki prilaku yang biasa disebut dalam agama Islam sebagai anak saleh. Teori yang diungkapkan Durkheim mengenai fakta sosial menurutnya adalah cara bertindak, berfikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya[1]. Menurut Durkheim fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada diluar dan  memaksa aktor[2]. Dalam kajian ini dimana siswa sebagai agen dan orang tua serta lingkungan adalah strukturnya. Ketika lingkungan mengharapkan anak-anak disekitar mereka bersikap sebagaimana yang mereka kehendaki, maka yang muncul adalah norma-norma dan nilai yang membuat anak-anak berjalan kearah yang mereka kehendaki.
Di zaman seperti ini, nilai dan norma yang memaksa tersebut terbagi dalam pendistribusiannya. Proses penanaman nilai dan norma tidak hanya dilakukan oleh orang tua dan lingkungan, namun juga telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Siswa diharuskan mengikuti serangkaian kegiatan dalam proses pendidikan yang sebenarnya mereka tidak perlukan, namun mereka  wajib melakukannya demi mendapatkan sebuah pengakuan dalam bidang pendidikan yakni Ijazah. Proses ini saat ini tetap masih dipertahankan oleh masyarakat terlebih tuntutan akan perbaikan moral dan ahlak yang memang diajarkan oleh agama menginginkan hal ini. Ketika agama, budaya, keluarga, dan sosial menghendaki hal yang serupa terhadap anak-anak, maka sekolah sebagai tempat mereka menimba ilmu menjawabnya dengan menambahkan atau menciptakan kurikulum dengan isi muatan keagamaan secara baik. Dengan kurikulum yang baik, maka dengan sendirinya masyarakat terutama orang tua murid akan merasa tenang terhadap perilaku anak-anak mereka dikarenakan mereka percaya bahwa sekolah tempat yang terbaik untuk mendidik anak mereka.
Kemudian bahasan diatas dapat kita lihat juga melalui teori Pierre Bourdieu. Habitus, menurut Bourdieu adalah suatu sistem disposisi  yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif[3]. Tidak dapat disangkal lagi bahwa fenomena maraknya sekolah berbasis keagamaan merupakan sebuah tuntutan masyarakat akan adanya sekolah yang mampu membuat hati mereka tenang menyekolahkan anak-anaknya. Modal menurut Bourdieu adalah sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah[4]. Seorang agen (siswa) harusnya diberikan modal untuk menghadapi  lingkungan sosialnya agar mampu berprilaku sesuai dengan harapan masyarakat dimana dia berada. Modal inilah yang dapat diperoleh dengan baik di lembaga pendidikan, sehingga para orang tua berlomba-lomba mencarikan sekolah yang terbaik bagi anaknya.
Bila anak tersebut sudah memiliki modal yang cukup, maka para orang tua tidak lagi khawatir dengan pola prilaku anaknya di lingkungan dikarenakan mereka menganggap  anaknya telah mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Melihat kembali latar belakang lokasi penelitian yang memang memiliki kultur sejarah yang religius membuat sekolah-sekolah keagamaan memang sangat dibutuhkan dan mereka para orang tua berharap anaknya tidak terjebak ke dalam pergaulan yang tidak baik namun menjadi anak yang dapat melestarikan budaya Islam dan ajarannya.
Terdapat pula kelemahan dari sekolah jenis ini yang juga terjadi pada sekolah umum. Kekerasan simbolik menurut Bourdieu adalah kekerasan dalam bentuk yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan kepada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya, malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus[5]. Modal budaya yang terdapat di kota Bekasi ini membuat para pengusaha pendidikan berlomba dan bersaing menciptakan sebuah sekolah berbasis keagamaan dengan cara yang belum tentu tepat guna. Pembangunan gedung pendidikan yang tidak tepat lokasinya sering menyebabkan kemacetan yang parah, terutama sekolah yang penulis teliti ini. Perlombaan dan persaingan antara pengusaha pendidikan menawarkan segala bujuk rayu akan hasil yang terbaik bagi anaknya terkadang membuat para orang tua lupa akan hakikat pendidikan yang sebenarnya. Jika dilihat secara makro, tujuan pendidikan di Indonesia masih melihat hasil dan bukan proses peserta didik belajar. Walaupun peserta didik belajar di sekolah berbasis keagamaan, mereka tetap diharusnya melewati Ujian Nasional untuk menyatakan mereka telah lulus dalam sebuah jenjang pendidikan. Seharusnya pilihan orang tua untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah berbasis keagamaan lebih cenderung agar anak mereka fasih dalam beragama dan tidak mengharuskan pintar dalam semua mata pelajaran seperti yang diwajibkan di sekolah pada umumnya. Disinilah letak kekerasan simbolik yang terjadi pada siswa, walau mereka memiliki cara tersendiri untuk mentransfer ilmu kepada murid-muridnya tetap saja penentu kelulusan berada di tangan pemerintah.
Sekolah-sekolah keagamaan memang tumbuh subur mengikuti agama mayoritas penduduk sekitarnya. Dibangunnya sekolah tidak lepas dari kebutuhan masyarakat akan perlunya sekolah dengan jenis tertentu dan menurut Giroux pun, bahwa kurikulum banyak ditentukan oleh kebutuhan pasar (pemerintah, pemilik modal, masyarakat). Menurut Giroux, kurikulum sebagai sebuah tradisi yang selektif yang menyediakan kebutuhan murid melalui seperangkat pengetahuan untuk memiliki berbagai kebutuhan pragmatis yang akhirnya hanya terjebak pada logika komodifikasi[6]. Indonesia sebagai negara berkembang sedang gencar dalam mempromosikan sekolah SMK yang tidak lain bila kita melihat lebih dalam terdapat hidden curriculum agar peserta lulusannya menjadi pekerja di pabrik-pabrik yang memang dibutuhkan oleh para pengusaha yang memiliki investasi di Indonesia. Akan tetapi, saat ini pula Indonesia sedang resah dengan kemajuan teknologi yang tidak seimbang dengan sosialisasi tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sebuah teknologi tersebut.
Oleh karena itu masyarakat juga membutuhkan lembaga-lembaga yang mampu mengontrol perilaku anak-anak mereka dari serangan akses mudah ke pornografi. Dengan dibutuhkannya sekolah-sekolah agama sebagai alat kontrol dan pagar untuk membentengi atau mungkin sebagai alat tandingan dari sesuatu yang buruk bagi anak, maka banyaklah dibangun sekolah-sekolah dengan basis agama yang bertujuan mulia serta lebih modern dengan konsep dan kurikulum terpadu seperti sekolah yang penulis teliti.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Profil Sekolah Gema Nurani
Berikut adalah profil sekolah berafiliasi dengan jaringan sekolah islam terpadu. Prinsip pendidikan terpadu dan holistik merupakan landasan yang kokoh serta ditujukan untuk melejitkan potensi yang dimiliki oleh siswa dengan sistem dan kurikulum yang tepat, optimalisasi sarana dan media, pola, arah serta tujuan yang jelas yang berlandaskan kepada nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah. Hal inilah yang merupakan inti dari pendidikan terpadu dan holistik (IHES). Model pendidikan terpadu dan holistik sangat tepat untuk membangun peradaban yang paripurna karena model ini merupakan sistem yang berkelanjutan berdasarkan pada program tarbiyah dalam pembentukan generasi berakhlak Qur’an secara menyeluruh dari segi intelektual, emosional, ruhiyah dan jasmani yang terfokus pada pencapaian kesuksesan dunia (karir) dan keselamatan akhirat. Sekolah ini mempunyai visi yakni menghasilkan lulusan berkarakter Islami yang berwawasan global, unggul, mandiri dan kreatif. Kemudian sekolah ini memiliki misi yakni mengembangkan potensi siswa secara seimbang, terpadu, menyeluruh dan berdaya saing global menuju generasi rabbani sebagai Khalifah fil Arld dengan moto ikhlas melayani sepenuh hati[7].
Sekolah SDIT Gema Nurani berada dalam pembinaan DIKNAS dengan menggunakan kurikulum perpaduan antara KTSP, JSIT, dan HIS. JSIT merupakan singkatan dari Jaringan Sekolah Islam Terpadu dan HIS sendiri singkatan dari Holistic Integrated School yang berpusat di Malaysia. Hasil wawancara dengan Ibu Yanti (Wakasek Bidang Kurikulum), penulis mendapatkan informasi,
Yayasan ini berdiri sejak 22 tahun lalu dengan pendidikan TK pada awalnya dan kemudian terus berkembang hingga sekitar pada tahun 2002-2003 mendirikan sekolah dengan membuka 3 jenjang pendidikan sekaligus yakni SDIT, SMPIT, dan SMAIT[8].
Sekolah ini terletak di Jl. Raya Kaliabang Tengah no. 75B. Letak sekolah ini memang sangat strategis karena berada diantara setidaknya 2 komplek perumahan besar. Namun ada kendala dimana sekolah ini memiliki pintu masuk dan keluar persis di depan pertigaan dengan tingkat lalu lalang kendaraan yang tinggi. Hal ini menyebabkan lalu lintas menjadi macet terutama pada jam masuk dan keluar sekolah. Ketika jam masuk sekolah pukul 06.50 bersamaan dengan banyaknya orang yang berangkat bekerja. Dampak negatif seperti yang dicontohkan diatas merupakan hasil dari pembangunan sekolah yang tidak memikirkan bahwa pembangunan di lokasi yang tidak tepat dapat merugikan orang lain.

B.     Sistem Kurikulum
Kurikulum yang diterapkan di sekolah ini merupakan suatu perpaduan antara KTSP, JSIT, dan HIS. Menurut Ibu Yanti, kurikulum dengan perpaduan ini menjadikan anak didik lebih baik dalam menyerap ilmu yang diajarkan. KTSP dibutuhkan untuk mengatur jalannya mata pelajaran umum dan kurikulum JSIT dan HIS mengatur jalannya mata pelajaran keagamaan dan cara belajar secara internasionalnya. Sekolah ini memiliki jam pelajaran yang cukup panjang walau masih dalam tahap pendidikan dasar. Untuk kelas 1-3 masuk pukul 06.50 – 14.00 dan untuk kelas 4-6 masuk pukul 06.50 – 15.30. Dengan waktu yang panjang ini, siswa menerima mata pelajaran keagaaman dengan porsi yang besar. Terdapat mata pelajaran Al-Islam yang mempelajari Hadist dan ilmu Fiqih sebanyak 4 jam dalam satu minggu dan mata pelajaran Al-Qur’an sebanyak 10 jam dalam satu minggu. Muatan lokal yang terkandung dalam sekolah ini yang mengarah kepada unsur agama adalah adanya mata pelajaran bahasa Arab. Mempelajari bahasa arab merupakan sebuah warisan budaya umat muslim karena sepertinya kurang sempurna Islam seseorang bila tidak menguasai bahasa arab. Ada yang menarik di sekolah ini yakni masuknya Al-Qur’an dalam setiap materi pelajaran. Menurut sumber yang kami dapat, dalam setiap melakukan proses pembelajaran guru diwajibkan memasukkan ayat-ayat Al-Qur’an didalamnya. Seperti ketika mempelajari Geografi mengenai atmosfer, maka guru harus menghubungkan dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan penciptaan langit dan susunannya.
Kemudian sekolah ini juga menerapkan peraturan-peraturan yang bila dilihat akan menggiring peserta didik untuk mempunyai kedisiplinan yang tinggi dalam melaksanakan seluruh ajaran agama. Terdapat peraturan agar sholat tepat waktu, bagi laki-laki diharuskan sholat di Masjid dan menutup aurat bagi perempuan dan selalu mengutamakan 5S, Salam, Sapa, Sopan, Senyum, Sunnah. Selain itu, sekolah ini juga mewajibkan anak didiknya untuk membaca Al-Qur’an setelah jam masuk sekolah dan melakukan Sholat Duha. Bila dikaitkan dengan teori fakta sosial, terlihat jelas bahwa siswa tetap dipaksa oleh struktur untuk mengikuti serangkaian aturan yang ada di sekolah demi mendapatkan nilai yang baik. Layaknya siswa biasa yang harusnya mendapatkan kreatifitas dalam ilmu pengetahuan, namun dikendalikan oleh agama karena masuknya nilai-nilai keagamaan kedalam materi pelajaran. Namun bila kita melihat dari sisi teori Bourdieu mengenai modal kultural, justru hal inilah yang diinginkan orang tua untuk anaknya agar anak mereka mempunyai bekal yang cukup untuk dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Modal kultural ini akan terus dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi agar tidak punah.
Terdapat ekstra kulikuler yang mencerminkan sekolah ini sebagai sekolah Islam yakni Qur’an. Dalam ekskul Qur’an ini anak-anak belajar membaca dan menghafal ayat suci Al-Qur’an dengan baik dan benar bahkan bisa melantunkannya dengan intonasi tertentu agar terdengar lebih indah. Bila kita memperhatikan lebih dalam, baik kepada sistem pelajaran yang ada maupun ekstra kurikulernya, tentu kita akan sangat mempercayai bahwa dengan kurikulum yang ada dapat dipastikan peserta didik akan memiliki tidak hanya kecerdasan namun juga memiliki pengetahuan agama yang baik dibandingkan peserta didik di sekolah umum.
Jika masyarakat memiliki persepsi yang baik tentang sekolah ini dengan melihat sistem yang ada, mungkin mereka akan beranggapan lulusan sekolah ini akan menjadi ahli-ahli agama suatu saat kelak. Layaknya sekolah pada umumnya, sekolah ini juga mempunyai hidden curriculum yakni mengarahkan peserta didik agar menjauhi hal-hal yang bersifat bid’ah. Ketika kami tanya kepada Ibu Yanti perihal tujuan tersembunyi pembentukan kurikulum, beliau mengatakan bahwa lulusan sekolah ini tidak diarahkan menjadi ahli agama atau menjadi para ulama, itu semua di kembalikan kepada anak bila ingin mengambil kuliah di jurusan ilmu yang lain sekolah tidak memaksa dan biasanya banyak pula lulusan yang kemudian masuk pesantren untuk memperdalam ilmu agamanya atas kehendaknya sendiri dengan kata lain berbeda dengan sekolah keagamaan lain (pesantren berbasis NU) yang mengarahkan mereka menjadi ahli agama kelak. Berikut tabel mata pelajaran dengan kandungan materi keagamaan di SDIT Gema Nurani;

Mata Pelajaran
Nilai-Nilai Islam Dalam Kurikulum
Jumlah Jam Per Minggu
Ekstra Kulikuler
Al-Islam
-Mengajarkan ilmu Fiqih dan Hadits sesuai dengan aliran ke-Muhammadiyahan
4 Jam

Al-Qur’an
-Mengajarkan baca, tulis, hafalan Al-Qur’an
10 Jam
Qur’an
Bahasa Arab
-Mengajarkan bahasa Arab dan mengamalkannya dikehidupannya sehari-hari
4 Jam





C.    Penanaman Nilai-Nilai Islam
Proses penanaman nilai-nilai dilakukan melalui mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan oleh sekolah ini. Dalam kurikulum, nilai-nilai ini di transfer melalui mata pelajaran Al-Islam yang didalamnya mengajarkan ilmu fiqih dan hadist dan pelajaran Al-Qur’an dimana didalamnya belajar membaca dan mengkaji isi kandungan Al-Qur’an.
Proses transfer nilai-nilai ini pula dilakukan pada saat terdapat acara-acara yang memperingati hari-hari besar Islam. Sekolah ini memberikan dampak baik kepada masyarakat sekitar, karena selalu menyelenggarakan bakti sosial (baksos) sebanyak 3-4 kali dalam setahun dengan cara setiap siswa dianjurkan menyisihkan uangnya selama satu bulan sebanyak Rp. 15.000,-. Menyisihkan uang untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, ini dalam ajaran Islam memang diajarkan dan merupakan Sunnah Rasul agar kita mempunyai kepedulian terhadap orang lain. Adapula kegiatan lainnya yang dilakukan setiap tahunnya yakni Gema Nurani Expo, Gema Muharram, Bisnis dan Hari Berkreatifitas, Sunatan Massal, dan Penyembelihan Kur’ban. Pada kegiatan yang dilangsungkan disini, selalu disisipi nilai-nilai Muhammadiyah kepada pesserta didik.

D.    Output Siswa dalam Masyarakat
Lulusan sekolah SDIT Gema Nurani diharapkan menjadi anak-anak dengan tingkat kecerdasan yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah umum lain. Dengan menggunakan kurikulum terpadu siswa akan menjadi pribadi yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi baik dalam ilmu sains, penguasaan bahasa asing, dan ahlak yang mulia. Jika kurikulum ini berjalan dan diterima oleh siswa dengan baik, maka dalam masyarakat anak ini akan memiliki sikap dan perilaku yang diharapkan bahkan dambaan seluruh orang tua umat muslim.
Harapan orang tua memiliki anak dengan ahlak yang baik dan lebih unggul dari anak lainnya baik dalam ilmu pengetahuan maupun ilmu agama merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi mereka. Masyarakat akan menilai bahwa anak ini mendapatkan pola pendidikan yang baik dari orang tuanya sehingga para orang tua lainnya pun bertanya-tanya bagaimana cara mendidik anak seperti itu. Ketika harapan orang tua secara mayoritas menginginkan anak mereka memilik modal kultural keagamaan, maka lahan subur bagi sekolah keagamaan semakin luas. Hal ini dapat dibuktikan melalui hasil pengamatan singkat mengenai jumlah siswa pada sekolah swasta umum dari tahun ke tahun sejak berdirinya sekolah Islam terpadu ini.
Benar memang biaya yang harus dikeluarkan dengan menyekolahkan anak mereka di sekolah Islam terpadu ini tergolong besar. Namun menurut mereka biaya tersebut tidak sebanding dengan kebanggaan atas hasil yang diperoleh anak-anak mereka. Bekerja dan mencari uang merupakan kewajiban orang tua untuk memberikan anak-anak mereka pendidikan yang terbaik berapapun biayanya, ini merupakan salah satu pemahaman jalan hidup orang tua. Dengan pemahaman seperti itu, niscaya anak-anak yang disekolah dengan modal yang besar akan menjadi orang yang besar pula dikemudian hari jika dibandingkan dengan orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum biasa dengan biaya rendah dan fasilitas yang tidak memadai tentunya hanya akan menciptakan orang-orang atau rakyat pekerja biasa. Ini seperti hidden curriculum yang memang dibuat untuk menjaga stabilitas dunia.


BAB III
KESIMPULAN
Dari data dan kaitannya dengan teori-teori yang digunakan untuk mengkaji studi ini. Kita dapat melihat bahwa teori-teori yang diciptakan oleh para ahli memang masih relevan hingga saat ini. Kurikulum sekolah selalu berubah mengikuti apa yang masyarakat butuhkan dalam menjaga stabilitas sosial. Kurikulum juga merupakan hasil kesepakatan bersama yang dibuat untuk mengikat dan dilakukan pendistribusiannya sejak dini dalam jenjang sekolah untuk menciptakan generasi yang sesuai dengan visi misi sebuah lembaga pendidikan. Biaya yang mahal dalam menyekolahkan anak, bukanlah suatu hambatan yang berarti agar anak mereka kelak lebih baik daripada orang tuanya baik dari segi keagamaan dan segi ilmu pengetahuannya. Secara kultur, sekolah ini mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat sekitarnya sehingga sekolah ini sangat diminati. Kurikulum agama yang memang dibutuhkan masyarakat dengan kurikulum yang dibutuhkan siswa untuk mampu berkembang dimasa depan seolah menjanjikan hasil yang terbaik bagi siswanya. Diharapkan dengan kecerdasan yang baik dipadukan dengan sikap religius siswanya, akan melahirkan penerus bangsa yang pandai, kreatif, jujur dan berwawasan global seperti yang terdapat pada visi dan misi sekolah ini serta sesuai dengan yang diinginkan oleh struktur lingkungan yang sejak awal memang menghendaki generasi penerus yang berjiwa islami
Didalam pembangunan sekolah keagamaan tentunya tidak luput dari maksud-maksud tersembunyi, regenerasi adalah hal yang harus dilakukan jika sebuah aliran agama ingin tetap eksis hingga hari akhir kelak. Tidak mungkin tanpa adanya regenerasi, sebuah aliran akan tetap ada dan mungkin hanya akan terkubur tergilas zaman yang semakin maju dengan teknologinya. Jika sekolah keagamaan dan proses regenerasi sebuah aliran keagamaan terhenti, maka golongan yang tidak percaya adanya Tuhan dan agama akan semakin berkembang dan menganggap dirinya adalah penentu nasibnya sendiri bahkan mungkin teknologi ciptaannya akan membuat mereka lupa darimana mereka berasal. Oleh sebab itu, jika sebuah agama tetap ingin ada maka mereka harus mampu menjawab segala keluh kesah masyarakat dimana persoalan mereka tidak dapat dipecahkan oleh kemajuan teknologi, disaat itulah agama harus muncul untuk menjawabnya dengan baik. Manusia-manusia yang mampu menjawab inilah yang harus dilahirkan oleh lembaga-lembaga pendidikan berbasis keagamaan.


DAFTAR PUSTAKA
Harker, Richard dkk (ed). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Diterjemahkan Oleh Pipit Maizier. Edisi Kelima. Yogyakarta: Yogyakarta:Jalasutra
Ritzer, George dan Dougas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Cetakan IV. Bantul: Kreasi Wacana.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Edisi Ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
www.berita.gemanurani-bks.sch.id/page_id=12
www.isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32082544.pdf
www.waghe.student.umm.ac.id/files/.../PAHAM-AGAMA-MENURUT.doc



[1] Kamanto,Sunarto . 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi universitas Indonesia. H. 13.
[2] George, Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Cetakan IV. Bantul: Kreasi Wacana. H. 81.
[3] Richard, Harker dkk. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Diterjemahkan Oleh Pipit Maizier. Edisi Kelima. Yogyakarta: Yogyakarta:Jalasutra, H. 13.
[4] Ibid. H. xx.
[5] Ibid. H. xxi.
[6] www.isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32082544.pdf
[7] www.berita.gemanurani-bks.sch.id/page_id=12
[8] Hasil wawancara dengan Ibu Yanti Wakases bidang kurikulum pada hari Selasa, 13 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar