Entri Populer

Jumat, 01 Juni 2012

Peningkatkan Hasil Belajar Melalui Kebervariasian Metode Pembelajaran


BAB I
Pendahuluan

A.     Gambaran Umum Pendidikan Indonesia
Indonesia adalah negara yang berhasil merdeka karena salah satu faktornya yakni pendidikan. Pendidikan mampu membawa bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan yang bertahan ratusan tahun lamanya. Sejarah pendidikan dimasa penjajahan sangatlah buruk dalam segi kualitas dan kuantitas untuk para penduduk pribumi. Para penjajah sangat tidak mementingkan pendidikan bagi wilayah yang mereka jajah terutama bangsa Belanda yang telah menjajah Indonesia 350 tahun lamanya. Akan tetapi, berkat usaha keras dari para pemuda bangsa yang punya tekad untuk mengenyam pendidikan agar dapat membawa perubahan bagi bangsanya melahirkan benih-benih kesadaran akan pentingnya kemerdekaan.

Pendidikan di Indonesia memang mengalami situasi yang terus berkembang. Hal ini dapat kita lihat melalui perkembangan kurikulum yang berlaku di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Dimulai dari kurikulum tahun 1968 kemudian menjadi kurikulum 1975 atau kurikulum 1984 menjadi 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006[1]. Perubahan-perubahan yang dilakukan ini tidak lain demi keberhasilan pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang di dalamnya menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara[2]. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai, peran guru dan manusia dewasa untuk membina anak didik yang ada disekitarnya dengan baik.

Hingga saat ini berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia sangat gencar dilakukan. Mulai dari terealisasinya anggaran pendidikan 20% dari APBN negara, subsidi dana BOS dari hasil kenaikan harga BBM hingga buku-buku gratis agar seluruh anak di Indonesia menuntaskan program pendidikan 9 tahun. Kiat-kiat diatas diharapkan mampu memberantas angka buta huruf yang tinggi di Indonesia supaya martabat manusia Indonesia menjadi lebih baik karena adanya pendidikan. Jika kita melihat lebih dalam hasil atau evaluasi dari program-program yang dijalankan pemerintah untuk meningkatkan martabat manusia Indonesia melalui pendidikan belumnya berjalan dengan maksimal. Masih saja terdapat kelemahan yang terjadi, semisal tidak semua anak didik mampu bersekolah dengan gratis, buku-buku pelajaran yang masih diperjual-belikan untuk tambahan guru, pungutan liar di sekolah, bahkan metode pembelajaran yang diterapkan guru tidak mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan hanya mengandalkan satu metode mengajar saja seperti metode ceramah yang dinilai oleh siswa membosankan.

Beragam permasalahan pendidikan di Indonesia ini membuat kita semakin khawatir akan nasib bangsa ini. Peran pendidik profesional yakni guru yang diharapkan mampu menghantarkan anak didik dalam proses pembelajaran saat ini tidak begitu terlihat. Ujian Nasional (UN) membuat para guru kehilangan peran dalam mendidik siswa, tetapi kebanyakan hanya mengajarkan materi dengan tergesa-gesa untuk mengejar target lulus UN sehingga kebervariasian metode belajar yang harusnya mampu meng-cover kebutuhan siswa dalam pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotor pun diabaikan. Perkembangan pengetahuan akan beberapa tipe siswa yang mampu belajar dengan baik dengan salah satu cara melihat (visual), mendengar (auditori), praktek/contoh model (kinestetik) tidaklah bisa terjangkau hanya dengan satu metode mengajar saja. Contoh metode mengajar ceramah, metode ini hanya mampu menjangkau siswa auditori saja, sedangkan berdampak lemah terhadap siswa visual dan kinestetik.

B.     Pentingnya Pendidikan Bagi Manusia
Banyak sekali para ahli yang menjelaskan mengenai pentingkan pendidikan bagi manusia. Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mengembangkan bakat-bakat yang dibawa manusia sejak lahir (talenta, teori konvergensi), sehingga manusia memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk menghidupi dirinya(profesi)[3]. Manusia adalah mahluk hidup yang perlu didik, hal ini dikarenakan manusia perlu merealisasi seluruh hakekat yang melekat pada dirinya, manusia ingin menyesuaikan diri, manusia ingin menyelesaikan masalahnya, dan manusia mempunyai keinginan untuk tahu tentang segala sesuatu yang “baru”[4]. Menurut Prof. Dr. N. Drikarkara, pendidikan adalah pe-manusia-an manusia muda atau pengangkatan pengangkatan manusia ke taraf insani. Kemudian menurut Prof. Dr. M.J. Langeveld pendidikan adalah usaha untuk memberikan pengaruh, perlindungan, dan bantuan kepada anak agar terfokus pada pendewasaan anak[5]. Dari pendapat kedua tokoh ini dapat disimpulkan bahwa ketika anak didik  telah mendapatkan pendidikan yang baik oleh orang dewasa dan pendidik profesi (guru), maka anak didik akan menjadi manusia utuh yang memiliki keterampilan dan ilmu untuk pemenuhan kebutuhannya sehari-hari dalam upaya peningkatan taraf hidup yang lebih baik.

C.     Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disebutkan diatas, terdapat beberapa ketidaksesuaian antara cita-cita pendidikan dengan perencanaan, proses, dan evaluasi pendidikan. Penulis memperhatikan setidaknya terdapat kekurangan cakapan peran guru dalam proses mengajar terutama pada konvensionalnya cara mereka menyampaikan materi terhadap anak didik. Sedangkan guru yang dianggap sebagai pendidik profesional dalam upaya peningkatan martabat manusia seringkali mengabaikan anak didik dan menganggap guru adalah manusia yang paling benar. Jika hal ini terus dibiarkan, maka proses transformasi nilai dan materi ajar di sekolah tidak akan berjalan maksimal. Seperti diutarakan diatas bahwa metode ceramah hanya berjalan satu arah yakni dari guru kepada siswa tanpa ada proses arah berlawanan. Tentunya anak didik hanya dijadikan sebagai objek pendidikan dan bukan sebagai subjek (pelaku pendidikan). Pola-pola transformasi pendidikan diatas membuat penulis ingin mengetahui beberapa hal terkait dengan metode pembelajaran yang berdampak pada prestasi anak didik. Untuk mengetahui hal tersebut, penulis membuat pertanyan penelitian yakni,
1.      Bagaimanakah keberhasilan guru dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa melalui metode ceramah?
2.      Kebervariasian metode pembelajaran akankah mampu meningkatkan hasil belajar siswa?
3.      Bagaimanakah peran guru dalam mengaplikasikan keberagaman metode pembelajaran?

D.    Pembatasan Masalah
Penulis ingin melihat sejauhmana kebervariasian metode pembelajaran mampu meningkatkan hasil belajar siswa dengan peran guru yang kompetitif dalam upaya keberhasilan mentransformasikan nilai dan materi ajar kepada anak didik. Motode ceramah dianggap sebagai metode yang jauh tertinggal dalam memahami pola pikir anak didik. Oleh karena itu peran guru diharapkan mampu melihat sejauhmana anak didik membutuhkan metode pembelajaran yang tepat guna. Dalam tulisan ini, penulis melampirkan jurnal tentang keberhasilan metode pembelajaran kooperatif di SMP NEGERI 2 BOYOLALI[6].

E.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulis bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana proses pembelajaran yang baik itu tidak hanya bisa dilakukan dengan satu arah (guru - murid), akan tetapi harus mempunyai timbal balik atau dua arah sehingga tercipta situasi pendidikan yang ideal. Dengan terbukanya pola pikir guru dalam mengaplikasikan metode-metode pembelajaran yang bervariasi diharapkan mampu mencapai tujuan pendidikan nasional disetiap sekolah yang ada di tanah air.
BAB II
Kerangka Teoritis
A.     Filsafat Pendidikan

B.      Situasi Pendidikan

C.    Komponen-Komponen dalam Pendidikan

D.    Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK)

BAB III
Pembahasan
                                                   
A.    Konstruksi Ideal Pendidik Formal.
Guru adalah seseorang yang dilatih dalam sebuah lembaga pendidikan dan mengemban tanggung jawab untuk mencerdaskan anak didik. Dalam hal ini guru seharusnya mampu menjadikan dirinya seorang yang dapat diteladani dan mampu mentransformasikan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Pendidik formal diwajibkan melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara teratur guna mengetahui perkembangan anak didik dalam proses pendidikannya. Dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik, diharapkan proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Proses pembelajaran diharapkan tidak hanya mentransformasikan materi bahan ajar, tetapi juga melihat perkembangan dari 3 ranah pendidikan yakni, kognitif, afektif, dan psikomotor dari anak didik. 

B.     Temuan Masalah dalam Kajian
Setelah kita melihat bagaimana konstruksi ideal peran seorang guru yang seharusnya ada di Indonesia. Kita juga harus melihat kenyataan di lapangan bahwa tidak semua guru mampu bersikap profesional terhadap jabatannya. Peran guru yang kita rasakan tidak sesuai dengan yang diharapkan dalam hal perencanaan, pelaksanaan, evaluasi pembelajaran. Pada tahap ini, penulis melihat bagaimana peran guru dalam membuat perencanaan sebelum memulai proses pembelajaran belum maksimal. Pelaksanaan yang tidak teratur atau hanya bersikap sebagai seseorang yang bertugas mentransfer ilmu saja kepada anak didik membuat guru seolah orang yang paling benar. Dari segi evaluasi, sikap guru hanya melihat dari segi kognitif anak didik tanpa menghiraukan aspek psikomotor dan afektifnya, terutama tidak melihat tujuan hasil pendidikan yakni perubahan sikap dan tingkah laku[14]. Metode dan strategi pembelajaran yang kaku dan konvensional seperti hanya ceramah saja membuat anak didik tidak kondusif dalam menerima materi. Kelemahan metode ceramah yang banyak dilakukan oleh para guru adalah tidak adanya interaksi dua arah antara guru dan anak didik. Proses pendidikan hanya berjalan satu arah dari guru ke murid, sedangkan guru tidak mengetahui bagaimana sikap murid dalam menerima materi yang diajarkan.

C.    Analisis Masalah
Masalah yang ditemukan dalam penulisan ini adalah kurangnya peran guru dalam proses pendidikan di Indonesia. Strategi dan metode pembelajaran yang kurang bervariasi membuat proses pendidikan tidak menekannya pada kurikulum yang sedang berlangsung pada saat ini yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP menekankan bagaima siswa mampu menjadi aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan metode ceramah adalah metode konvensional yang dirasakan tidak membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran. Tentu saja hal ini menciptakan sebuah dilema antara siswa yang harus berkembang namun peran guru seperti memasung daya kreatififtasnya. Guru sebagai seorang pendidik profesional harusnya mampu meneliti, mengamati, dan mengevaluasi proses pendidikan di kelas. Dalam kaitannya dengan perkembangan siswa, jelas metode ceramah tidak akan mampu memfasilitasi perkembangan siswa.
Melihat  salah satu filsafat pendidikan yang penulis angkat mengenai progesivisme, dimana perubahan adalah inti dari kenyataan. Pendidikan merupakan sebuah proses perubahan yang siap dinamis dalam mengikuti perkembangan lingkungan sehingga tidak kaku dalam metode pembelajaran dan kebijaksanaan pendidikan. Progesivisme melihat bahwa anak didik merupakan individu yang harus bergerak bebas dan berkembang secara wajar dan peran guru harus menjadi seorang peneliti dan pembimbing kegiatan belajar. Ketika kita melihat keadaan sekarang dimana guru masih memakai metode pembelajaran ceramah sebagai model pengajaran terbaik mereka, maka ini hanya membuat anak didik merasa bosan. Anak didik tidak akan merasa bebas berfikir karena selalu hanya dicekoki oleh materi-materi tanpa bisa menanyakan perihal mengapa sesuatu itu dapat terjadi. Perkembangan anak didik akan sangat terganggu bila setiap guru melakukan ceramah dalam setiap proses pembelajaran. Ketika rasa bosan sudah menghinggapi anak didik, maka hasil belajar pun tidak akan maksimal.

Dalam situasi pendidikan dimana kita mengetahui ciri anak didik yang selalu ingin berkembang, memerlukan bantuan dan arahan dari orang lain serta pribadi yang unik satu dengan yang lainnya. Bila kita memahami makna dari ciri anak didik, seorang guru tidak akan pernah melakukan strategi pembelajaran yang monoton (ceramah). Karena pada dasarnya setiap anak didik berbeda satu dengan yang lainnya. Metode ceramah mungkin hanya akan efektif untuk anak didik yang memiliki  mendengarkan yang baik, lalu bagaimana dengan nasib anak didik yang kuat dalam visual dan kinestetik? Jelas ceramah akan sangat tidak menolong mereka dalam menyerap materi. Disinilah peran guru sebagai pendidik formal yang memang sudah diberikan amanah, pembekalan, dan tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa secara profesional harus mampu mengembangkan kemampuannya dalam proses penyampaian keilmuannya dalam bentuk yang baik dan menarik sehingga anak didik mudah dalam memahami materi.

Sebuah proses pendidikan akan berlangsung baik bilamana seluruh komponen pendidikan sudah memenuhi aspek-aspek yang terkait di dalamnya seperti, anak didik, pendidik, alat pendidikan, dan tujuan pendidikan. Bila hal ini telah ada, maka proses pendidikan dapat berlangsung. Akan tetapi keberlangsungan seperti apa proses pendidikan yang terjadi jika pendidik tidak mampu mengenal anak didik, menggunakan alat pendidikan secara tidak profesional dan lupa akan tujuan pendidikan?. Dalam komponen pendidikan, penulis mengkhususkan melihat peran guru sebagai pendidik. Disana terlihat bagaimana etika guru yang seharusnya dimiliki oleh setiap guru yang sudah dianggap mampu mengemban tugasnya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, guru diharapkan menjadi seorang yang bisa mengamati bagaimana perkembangan anak didik da selalu berupaya mencari jalan agar anak didik dapat menyerap ilmu dengan mudah agar mereka menjadi pribadi yang aktif sesuai dengan landasan kurikulum secara makro yakni KTSP. Anak didik butuh bimbingan, arahan dari orang dewasa. Oleh karena itu, jika di sekolah guru juga hanya berperan sebagai orang dewasa yang mendoktrin mereka tanpa dapat ditanyakan kembali atau ada umpan balik dari anak didik, maka kesesatan akan tertanam dalam dirinya. Mereka akan menjadi pribadi yang sesuai dengan doktrin guru-guru mereka, pasif, dan tidak dinamis dalam pola sosialisasi.

Sebuah fenomena di Indonesia mengingat negara ini pernah menjadi tempat banyak orang luar negeri yang menimba ilmu dikala itu. Akan tetapi saat ini, justru kita seperti kehilangan makna pendidikan. Setiap orang berlomba melakukan studi ke luar negeri karena mereka melihat prospek pendidikan di Indonesia tidak menjanjikan generasi yang cerdas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kelemahan peran guru dalam mentransformasikan ilmunya kepada anak didik adalah faktor terbesar kurangnya hasil belajar yang diperoleh. Kemampuan guru dalam mencoba dan menerapkan metode atau strategi pembelajaran yang lain sangat kurang atau mungkin guru tidak mau belajar untuk menggunakan metode yang lain. Dalam kasus ini misalnya penulis melampirkan sebuah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimana peneliti ingin melihat sejauhmana pola belajar kelompok mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Ternyata setelah dilakukan PTK selama beberapa siklus, terbukti siswa mendapatkan kenaikan hasil belajar dan motivasi mereka untuk mengetahui lebih dalam bahkan memahami suatu pelajaran bertambah. PTK seperti sebuah pisau untuk membedah apa kebutuhan siswa dalam proses pembelajaran. Jika dalam kasus tersebut metode ceramah dianggap kurang dalam proses pendidikan, maka dirubahlah menjadi strategi pembelajaran kooperatif atau biasa disebut sebagai kerja kelompok. Dengan bekerja secara berkelompok, maka siswa ternyata mampu lebih kreatif, berkembang, dan bertanggung jawab daripada harus terus terpaku pada ceramah guru.

D.    Solusi Permasalahan
Setelah kita melihat bagaimana sebenarnya kelemahan sebuah metode pembelajaran yang dilakukan guru secara konstan. Kita akan mampu menganalisa bagaimana yang sikap yang harus kita ambil sebagai guru agar pendidikan tidak lagi menjenuhkan bagi anak didik. Ternyata dengan kebervariasian metode pembelajaran akan mampu meningkatkan motivasi minat siswa terhadap pelajaran dan peningkatan hasil belajar yang secara signifikan terus mengalami kenaikan. Ini semua merupaka sebuah wujud atau tujuan semua pendidik, melihat anak didiknya berkembang secara baik dan menjadi pribadi yang utuh. Sebenarnya masih banyak metode pembelajaran yang bisa dilakukan guru untuk merangsang minat anak didik terhadap suatu pelajaran. Peran guru sebagai pengatur strategi merupakan titik awal perubahan dalam proses pendidika. Jika guru hanya berfikir sebagai pengajar dan bukan juga sebagai pendidik, maka tidak heran mereka tidak mau susah-susah mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) da silabus untuk mencapai tujuan dan arah pendidikan yang lebih baik. Kita semua mampu menjadi pribadi yang utuh bila saja peran pendidik berjalan sesuai dengan fungsinya. Jika guru sudah berperan sebagai seorang yang mengerti kondisi anak didik, maka sudah dapat dipastikan keberhasilan dalam proses pendidikan adalah sebuah keniscayaan.
 
BAB IV
Penutup
A.    Kesimpulan
Analisa kasus diatas merupakan bukti konkret dimana kebervariasian metode pembelajaran adalah mutlak untuk diterapkan pada setiap jenjang sekolah di Indonesia. Anak didik dan peserta didik serta komponen pendidikan di dalamnya harus memiliki hubungan yang setara karena pada prosesnya mereka saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Peran pendidik sebagai orang yang paling depan dalam upaya meningkatkan martabat manusia adalah guru. Oleh karena itu, guru harus dapat profesional dan mampu mengembangkan kemampuannya dalam merencanakan, proses belajar, dan evaluasi siswa sesuai dengan kebutuhan anak didik dan lingkungan. Peningkatan prestasi siswa dengan kebervariasian metode pembelajaran adalah salah satu contoh bagaimana anak didik mampu menerima metode-metode baru yang dianggapnya lebih baik dalam prosesnya menyelesaikan sebuah masalah.

B.     Saran
Guru sejatinya adalah pendidik formal/jabatan yang memilik tanggung jawab secara profesional untuk mengembangkan anak didik ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, diharapkan guru-gur di Indonesia tidak lagi mengajar dengan metode ceramah saja melainkan melakukan bergantian dengan metode pembelajaran yang lain sehingga tidak menjenuhkan siswa dan prestasi siswa pun bisa meningkat seiring tingkat pemahaman anak didik. Penggunaan metode pembelajaran secara silih berganti akan membuat kelemahan salah satu metode tertutup dengan metode lainnya dan inilah yang membuat resiko anak didik tidak memahami sebuah materi semakin kecil.



Daftar Pustaka
Meilanie, Sri Martini. 2011. Pengantar Ilmu Pendidikan. (Jakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta).
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group).
Siregar, Eveline dan Hartini Nara. Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta).
www.jurnalpenelitian.aspx.htm. , Diakses pada tanggal 20 April 2012.


[1] Eveline Siregar, Hartini Nara. 2007.  Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta), h. 62.
[2] ..... 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 (Bandung: Citra Umbara). h. 7.
[3] Sri Martni Meilanie. 2011. Pengantar Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta). h. 1.
[4] Ibid. h. 18.
[5] Ibid. h. 36
[6] Sunarto. PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR FISIKA LISTRIK DINAMIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) DENGAN LEMBAR KERJA TERSRUKTUR (LKT) PADA SISWA KELAS IX A SMP NEGERI 2 BOYOLALI. (Tersedia di www.jurnalpenelitian.aspx.htm). (Diakses pada tanggal 20 April 2012).
[7] Ibid. h. 42-43.
[8] Ibid . h. 11.
[9] Ibid. h. 13.
[10] Ibid. h. 18.
[11] Ibid. h. 55.
[12] Ibid. h. 62-63.
[13] Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group). h. 240.
[14] Sri Martni Meilanie. 2011. Pengantar Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta). h. 18.



NB : Banyak Bacaan yang Saya Hilangkan Demi Menghindari Plagiat Akademik. Thanks..

Komparasi Pendidikan Dengan Negara Tetangga


Ilmu pengetahuan merupakan sebuah jalan untuk mempermudah kehidupan umat manusia. Ketika manusia sudah memiliki ilmu pengetahuan maka tingkat kehidupannya pun semakin membaik. Agar seluruh masyarakat memiliki ilmu pengetahuan secara merata, maka dibuatlah sebuah sistem agar ilmu pengetahuan mampu dipelajari dengan mudah. Pendidikan adalah sebuah sistem yang didalamnya terdapat komponen-komponen penunjang dalam usaha mencapai tujuan mencerdaskan masyarakat. Setiap negara memiliki tujuan dan sistem pendidikan yang berbeda sesuai dengan visi dan misi negara mereka. Indonesia merupakan negara yang sangat mementingkan pendidikan, hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar ’45  yang merupakan pondasi dasar negara ini. 

Kita mampu melihat sejauhmana perkembangan pendidikan di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain dengan melihat aspek-aspek pendidikan yang global. Aspek pendidikan secara global mampu dilihat melalui aspek pendidik, anak didik, alat pendidikan, dan tujuan pendidikan. Indonesia negara yang saat ini menganggarkan 20% APBN nya untuk pendidikan terasa masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan proses pembelajaran. Aspek-aspek pendidikan yang akan penulis kaji  merupakan mempunyai tujuan untuk membandingkan tingkat keberhasilan pendidikan di Indonesia dengan negara tetangganya. Untuk mengetahui perbandingan aspek-aspek ini, kita harus mengetahui dahulu pengertian dari masing-masing aspek.
Pendidik adalah orang dewasa yang telah dianggap mampu bertanggung jawab terhadap apa yang diajarkan kepada anak didik. Sedangkan anak didik adalah individu yang butuh bimbingan dan arahan dalam bertingkah laku dari pendidik. Aspek yang lainnya yakni alat pendidikan yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yang didalamnya berisi komponen pendidikan yang bersinergi satu sama lain. Sedangkan tujuan pendidikan di setiap negara berbeda-beda sesuai dengan tujuan negara dalam menciptakan generasi penerus bangsa. Bisa dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mentransformasikan seluruh nilai dan norma serta perkembangan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus.

Tujuan penulis membandingkan pendidikan di Indonesia dengan negara lain dapat dikatakan sama seperti pendapat Kendall dan Nicholas Hanc yang dikutip dari  Nur  (2002:4) yang menjelaskan bahwa tujuan perbandingan pendidikan adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip apa yang sesungguhnya mendasari pengaturan perkembangan sistem  pendidikan nasional. Indonesia pada tahun 2011 mengalami penurunan peringkat prestasi pendidikannya. Jika di tahun 2010 Indonesia berada pada peringkat 65 dari 127 negara yang disurvei oleh UNESCO, kini pada tahun 2011 Indonesia berada pada urutan 69. Hal ini sungguh menyesakkan bagi kita masyarakat Indonesia yang telah dianggarkan 20% dari total APBN  untuk pendidikan. Penilaian UNESCO terkait aspek-aspek angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada anak usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar.

Bila melihat aspek diatas, maka wajarlah bila Indonesia masing dianggap sebagai negara yang jauh dari negara Jepang yang pada survei pada saat itu  menjadi negara  peringkat pertama dalam kualitas pendidikan. Indonesia memang masih lebih baik dari  negara tetangga yakni, Filipina, Kamboja, dan Laos. Tetapi bagaimana dengan negara tetangga yang lain yang berada dalam satu wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ketiga negara tersebut berada jauh diatas Indonesia dalam hal pendidikan. 

Aspek penilaian UNESCO memang berkaitan dengan aspek-aspek yang penulis sebutkan sebelumnya. Tenaga pendidik di Indonesia masih jauh dari kata profesional, masih banyak guru yang mengajar tidak pada kompetensinya dan bahkan mengajar lebih dari satu pelajaran atau berpindah tempat mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain hanya untuk mencukupi kebutuhan ekonominya. Guru di Indonesia masih sangat minim akan penguasaan metode pembelajaran. Sikapnya yang otoriter seringkali membuat siswa menjadi kaku dan tidak berkembang. Belum lagi masih banyak guru di Indonesia yang hanya mengenyam jenjang pendidikan Sekolah Keguruan dan bukan lulusan dari universitas ilmu keguruan.
Negara-negara tetangga yang berada jauh diatas Indonesia dalam peringkat pendidikan, tingkat perekonomian mereka sangat baik sehingga tenaga pendidik tidak perlu resah dan bekerja secara profesional dalam usaha mencerdaskan anak didik. Jenjang pendidikan yang sudah selayaknya bagi seorang guru dan  sikap profesional dengan hanya mengajarkan mata pelajaran yang ia kuasai ditambah dengan penguasaan metode pembelajaran, mampu menciptakan suasana pendidikan yang baik. Namun saat ini Indonesia sedang berbenah mencarikan solusi untuk meningkatkan mutu guru dengan program sertifikasi dan macam-macam pelatihan guna menciptakan guru yang berkualitas baik.

Anak didik adalah individu yang unik dan membutuhkan bimbingan dan arahan dari para pendidik guna mencapai kedewasaannya. Setiap anak didik yang ada di Indonesia sejatinya terlahir dengan bakat yang dibawanya masing-masing. Akan tetapi, bangsa Indonesia belum mampu mewadahi potensi-potensi anak didik. Pendidikan masih sangat mahal bagi rakyat Indonesia, sehingga membuat banyak potensi anak didik tidak berkembang sebagaimana seharusnya. Sistem pendidikan di Indonesia masih banyak berpatokan pada hasil daripada prosesnya.

Hal ini tanpa kita sadari membuat anak didik hanya terfokus pada aspek kognitif dalam tujuannya sebagai siswa di sekolah. Guru di sekolah pun bersikap sebagaimana robot yang selalu mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sikap tenaga pengajar seperti hanya mementingkan bagaimana upaya mereka secepat mungkin dalam  penyampaian materi kepada siswa tanpa memperhatikan kembali daya nalar dan pemahaman siswa itu sendiri terhadap materi ajar.

Ironis memang ketika Ujian Nasional (UN) dijadikan sebagai patokan kelulusan siswa dalam penguasaan materi pada jenjang pendidikan tertentu tanpa mengindahkan aspek lainnya, yang bisa juga dinilai sebagai bahan pertimbangan oleh tenaga pendidik. Sistem pembelajaran seperti ini membuat siswa sulit berkembang dalam usahanya menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Berbeda dengan negara tetangga yang sudah lebih tertata dalam upaya mewadahi bakat siswa. Malaysia misalnya, pada jenjang Lower secondary education (Sekolah Menengah Pertama jika di Indonesia), sudah dipetakan para siswanya untuk mengetahui bakat dan minat siswa pada jurusan sain, seni, teknik atau vokasional. Dengan cara ini, Malaysia telah mampu membuat peringkat pendidikannya di mata dunia lebih baik dengan tentunya masih banyak aspek lain sebagai faktor-faktor pendukung.

Selanjutnya berbicara mengenai alat pendidikan. Alat pendidikan disini tidak hanya berupa fasilitas sekolah seperti ruang kelas, meja, kursi, dsb. Yang akan kita sebut sebagai alat pendidikan di lapangan, sedangkan kurikulum, silabus, dan rencapa pelaksanaan pembelajaran (RPP) juga merupakan alat pendidikan yang akan kita sebut sebagai alat pendidikan di luar lapangan. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kurikulum pada setiap negara berbeda dan biasanya mengikuti keinginan negara masing-masing dengan acuan prospek jangka pendek dan jangka panjang. Di Indonesia, fasilitas di lapangan sangat minim dari ideal yang diharapkan. Banyak sekali sekolah-sekolah dalam kondisi rusak dan tak layak pakai hingga fasilitas penunjang lainnya. Bila kita cermati negara Singapura, sekolah mereka telah berada dalam keadaan yang sangat baik sehingga siswa dan guru pun menjadi lebih termotivasi dalam proses pembelajaran. 

Kurikulum di negara tetangga Malaysia menciptakan pembagian sekolah hampir sama dengan di Indonesia. Terdapat sekolah kejuruan, sekolah umum, dan sekolah keagamaan hingga tingkat universitas. Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Sistem pendidikan Indonesia menjadikan UN sebagai tolak ukur kelulusan dan jika ingin masuk ke jenjang berikutnya masih terdapat tes lagi, tetapi di Malaysia pada setiap jenjang pendidikan tidak menjadikan UN sebagai tolak ukur dan hanya sebagai uji kemampuan. Malaysia membuat jenjang pendidikan yang lebih tinggi memantau siswa di jenjang sekolah yang lebih rendah untuk calon siswanya. Tentunya pemantauan ini terkait dengan kebutuhan sekolah yang akan merekrutnya sesuai dengan minat dan bakat siswa itu sendiri.

Oleh karena banyak siswa di Malaysia melakukan yang terbaik dalam seluruh aspek pendidikan demi mendapatkan sekolah yang terbaik di jenjang pendidikan selanjutnya. Indonesia dengan penerapan UN sebagai tolak ukur kelulusan dan terdapat tes lagi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi membuat banyak siswanya menjadi letih dan menekan mental. Ini telah terbukti banyak membuat siswa berprestasi pun bisa gagal untuk menempuh sekolah impian selanjutnya.

Tujuan pendidikan Indonesia menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Setiap negara pasti memiliki tujuan pendidikan yang berbeda baik secara terang atau pun tersembunyi. Akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana mencapai tujuan itu sendiri dengan bantuan ketiga aspek lainnya.

Sebuah dilema pendidikan di Indonesia muncul ketika tujuan pendidikan yang sudah dicanangkan secara luhur tetapi tidak dapat didukung oleh faktor-faktor lain yang seharusnya menopangnya. Seperti yang penulis sebutkan diatas bahwa aspek pendidik, anak didik, dan alat pendidikan merupakan jalan untuk pencapaian tujuan harusnya berada dalam kondisi yang baik. Bila kondisi tiga aspek pendidikan ini telah berada dalam kondisi yang baik, maka tujuan pendidikan pun sangat mudah diraih. Indonesia dengan banyaknya jumlah penduduk dan kasus korupsi yang sangat besar menggerogoti tiga aspek pendorong pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana mungkin tujuan bisa terlaksana dengan baik bila penopang tujuan tidak dibangun dalam kondisi baik.

Bila dibandingkan dengan negara tetangga, mereka mempunyai tujuan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan negaranya. Namun, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa ketiga aspek pendidikan mereka sangat mendukung dalam menopang tujuan pendidikan. Jika hal ini terus berlanjut tanpa ada daya kreatifitas dari guru dan pihak sekolah hingga pemerintah, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan semakin turun peringkatnya dalam tatanan sistem pendidikan dunia.