Entri Populer

Sabtu, 14 Mei 2011

KONTRAS SEBAGAI GERAKAN PRO DEMOKRASI/HAM

Pendahuluan
Isu tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) memang telah mendapat perhatian sejak lama khususnya di Indonesia sendiri. Penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) secara Internasional, setidaknya secara resmi ditandai dengan deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang disahkan oleh majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pada 10 Desember 1948, pada pasal 1 DUHAM disebutkan bahwa; Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama, mereka dikarunai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. Dengan ditetapkannya deklarasi ini maka setiap Negara diminta untuk menghormati prinsip-prinsip ini tanpa terkecuali.
Di Indonesia, persoalan penegakan HAM mendapat perhatian dari berbagai pihak, mulai dari studi-studi akademik, diskusi serta seminar semakin intensif dilakukan guna mencari keadilan dan mengkampanyekan isu-isu HAM di Indonesia secara umum, karena seperti kita ketahui selama pemerintahan orde baru memimpin Negara ini, banyak sekali kejahatan kemanusian atau pelanggaran HAM telah terjadi, sebut saja pembantaian massal pada tahun 1965-1970 yang menelan korban 1.500.00 orang, kasus di timur-timor tahun 1974-1999 yang menelan ribuan korban, kasus Papua, di Aceh pada saat menjadi daerah operasi militer (DOM), kasus Bulu kumba, kasus trisakti (penembakan mahasiswa), sampai kepada penculikan aktivis prodemokrasi.
Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto, banyak pihak yang mulai mempertanyakan, menggugat, dan menuntut diadilinya para pelaku kejahatan terhadap HAM. Namun, pemerintahan yang diselenggarakan pasca reformasi belum mampu mengungkap semua itu, pada kondisi inilah banyak bermunculan lembaga sipil non pemerintah yang membantu para korban mencari keadilan, sebut saja KontraS, YLBHI, PBHI, Imparsial,, ELSAM, dan masih banyak lembaga lainnya. Berbagai lembaga ini mulai mengkampanyekan perlunya penegakan HAM secara menyeluruh, pusat-pusat studi yang yang berada di berbagai kampus juga mulai mengkaji, melakukan penelitian mengenai persoalan-persolan HAM yang terjadi di Indonesia, sampai ahirnya Indonesia juga membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai sebuah lembaga yang berfungsi dan bertugas menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, lembaga ini juga diberikan tugas untuk melakukan pencegahan pelanggaran HAM melalui pendidikan.
Tuntutan pemenuhan HAM ini tentu bukan tanpa alasan. Adanya tuntutan akan pemenuhan hak karena sebelumnya telah terjadi pelanggaran hak atau pengabaian hak, jadi tuntutan semacam itu muncul karena ada pelanggaran, sejarah penuh dengan penindasan baik oleh Negara, kelompok ataupun individu penguasa pada dasarnya mengingkari bahwa manusia bebas dan setara. Bahwa setiap manusia layak mendapat hak dan perlakuan yang sama tanpa terkecuali.
Contoh Kasus
Artikel 1
Tanggal : 22 Okt 2006

Nama Kasus : Bentrok Warga dengan Brimob

Tempat : Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota , Kabupaten Poso
Persis pada malam Lebaran, 22 Oktober 2006 telah terjadi bentrokan di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Poso antara ratusan warga setempat dengan puluhan aparat kepolisian dari satuan Brimob. Bentrokan terjadi sekitar pukul 21.15 WITA di saat warga sedang mempersiapkan tempat pelaksanaan Sholat Ied. Satu orang warga menjadi korban pada peristiwa ini, Syaifuddin alias Udin, yang tewas tertembak pada bagian pantat. Selain jatuh korban jiwa, juga terdapat 3 orang yang mengalami luka tembak, antara lain Rizki alias Kiki Omo, menderita 3 luka tembakan dibagian dada dan 1 tembakan dipaha sebelah kanan. Sedangkan Maslan, warga jl. Pulau Irian Jaya tertembak dibagian paha. Kedua korban luka dirawat di RS Umum Poso.
Akibat penyerangan Brimob itu, warga disekitar kelurahan Gebang Rejo dan Kayamanya marah dengan membakar dan merusak beberapa kendaraan polisi dan sebuah pos polisi masyarakat. Keesokan harinya, 23 Oktober 2006 bentrokan berulang lagi antara ratusan pengantar jenazah Udin dengan anggota Brimob di Jalan Pulau Seram. Massa pengantar jenazah meneriaki dan melempari aparat Brimob dengan batu dan dibalas dengan melepaskan tembakan yang menciderai tiga penduduk sipil, salah satunya adalah Galih Pamungkas, anak berusia 3,5 tahun yang sedang bermain di depan rumahnya. Di hari yang sama, rumah kontrakan sejumlah aparat kepolisian di jalan Pulau Alor dan Gereja Eklesia di jalan Pulau Seram, Gebang Rejo dibakar oleh orang yang tidak dikenal. Pasca bentrok, Polri menetapkan dua tersangka yang dituduh membawa senjata tajam di lokasi kejadian.
Ada dua versi yang berkembang dari peristiwa ini; versi polisi yang menyatakan wargalah yang terlebih dahulu menyerang operasi razia –untuk mengamankan Idul Fitri- senjata tajam dan senjata api. Meski pihak Polri menyatakan akan menyelidiki dan mengevaluasi peristiwa tersebut secara internal, namun pada hasil akhirnya pihak Polri tetap bersikukuh bahwa polisi telah melaksanakan prosedur secara benar. Sementara versi kedua justru menuduh aparat polisi yang melakukan serangan terlebih dahulu. Peristiwa ini baru menjadi lebih terang ketika Polri mengumumkan secara publik daftar 29 nama DPO (Daftar Pencarian Orang) pada akhir Oktober 2006. Nampaknya polisi memperoleh informasi bahwa banyak para pelaku teror dan kekerasan di Poso – khususnya penembakan Pdt. Kongkoli di Palu - mengarah ke lokasi pesantren Al-Amanah di Tanah Runtuh. Namun alasan operasi pengamanan Idul Fitri semata menjadi mencurigakan.
Pasca dua kali bentrokan warga Tanah Runtuh dengan Brimob, Ketua Majelis Taklim Khalid bin Walid, Sugianto Kaimuddin, usai khotbah Sholat Ied, membacakan pernyataan sikap pimpinan ormas dan parpol Islam yang mendesak Kapolri menarik seluruh anggota Brimob BKO dari Poso dalam tempo 1x24 jam dan mengembalikan 4 petinggi Polri dari Poso. Keempat petinggi Polri tersebut adalah Paulus Purwoko, Wenas, FX Sunarko, dan Gories Mere. Keempatnya merupakan figur Kristen. Reaksi warga pasca bentrok dimalam lebaran juga direspon oleh kalangan petinggi di Jakarta. Wapres Jusuf Kalla yang juga merupakan inisiator Deklarasi Malino merespon tuntutan para tokoh Islam dengan sikap keras bahwa pemerintah tidak bisa menerima ultimatum dari siapa pun dan justru mendukung pemberlakuan UU Antiteror kepada mereka yang dituduh teroris di Poso. Pada tanggal 29 Oktober 2006, Wapres Jusuf Kalla, didampingi oleh Menko Polkam, Menkumham, dan Kapolri bertemu dengan para pejabat pemerintahan Sulawesi Tengah dan tokoh-tokoh agama – 160 Islam dan Kristen. Pertemuan itu menghasilkan pembentukan Tim Pencari Fakta yang dipimpin oleh Menko Polkam Widodo AS dengan melibatkan unsure masyarakat, namun hanya untuk insiden Gebang Rejo 22 Oktober 2006.
Namun, seusai pertemuan tersebut Polri yang justru menambah 1.000 personel lagi ke Poso Pihak TNI pun – Kodam VII/Wirabuana – juga menambah pasukannya ke Poso sebanyak satu batalyon. Sementara itu sikap beberapa kelompok Muslim juga tetap tegas meminta penarikan aparat Brimob BKO. Ribuan massa dari 22 ormas Islam yang dipimpin oleh Adnan Arsal melakukan demonstrasi di Poso pada tanggal 30 Oktober 2006, sehari setelah pertemuan antara Jusuf Kalla dengan para tokoh Poso.
Pada tanggal 20 Nopember 2006, Tim Pencari Fakta kasus Gebang Rejo, Poso melalui Menteri Politik dan Keamanan, Widodo AS, menyampaikan laporan hasil investigasi kepada publik, namun 10 butir rekomendasi yang diantaranya meminta kepada petinggi polri untuk segera meminta maaf kepada umat Islam Poso secara umum dan kepada keluarga korban atas peristiwa tanggal 22 Oktober 2006 (point a) tidak disampaikan secara terbuka. Bentrok 22 Oktober 2006 ini menjadi penanda akan munculnya kebijakan keamanan baru terjadap masalah Poso.


Sumber: http://www.kontras.org

Artikel 2
Siaran Pers dan Launching Laporan KontraS tentang Praktek Hukuman Mati di Indonesia 10 Oktober 2007.
Bertepatan dengan Hari Penghapusan Hukuman Mati Sedunia, KontraS mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia. Selain sejalan dengan tema internasional, Proposed UN General Assembly resolution for a Resolution for a Universal Moratorium on Executions, hal ini merupakan langkah mendesak yang mungkin dilakukan saat ini, berkenaan dengan rencana eksekusi terhadap terdakwa Bom Bali I, Amrozi Bin H. Nurhasyim, Ali Ghufron dan Imam Samudera. Secara khusus kami meminta Pemerintah Indonesia untuk mendukung Resolusi Sekretariat Jenderal PBB untuk melakukan moratorium universal bagi penghapusan hukuman mati di dunia.
Di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup (right to life); merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini secara jelas tercantum dalam Konstitusi RI. Dalam sistem hukum di Indonesia, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk menghentikan suatu tindak pidana. Sistem peradilan kita masih belum mumpuni untuk sebuah proses yang jujur (fair trial). Korupsi, birokratisasi, diskriminasi dan bias kelas memperbesar peluang lahirnya hukuman mati dari kesalahan penerapan hukum.
Di sisi lain, kenyataan sosiologis membuktikan bahwa hukuman mati tidak mengurangi tindak pidana yang terjadi. Artinya faktor determinan untuk menimbulkan efek jera tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Penghukuman mati terhadap Tibo dkk, yang dipidana karena menjadi aktor kekerasan dalam konflik Poso ternyata justru menutup saksi dan bukti lainnya. Selain juga menimbulkan reaksi meluas yang justru kontraproduktif terhadap proses penegakan HAM. Rencana penghukuman mati terhadap terpidana terorisme, Amrozi dkk justru disambut semangat ‘jihad’ atas keyakinannya. Hukuman mati ini justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansinya. Bukan tak mungkin hal ini justru menjadi pemicu bagi pihak lain untuk melakukan tindakan serupa. Sehingga tak ada jaminan sama sekali bahwa hukuman mati ini akan mengurangi tindak pidana di masa yang akan datang, apalagi menjerakan para pelakunya.
Perkembangan global menunjukkan bahwa penerapan kebijakan abolisi secara de fakto dan de jure semakin meningkat. Hingga tahun 2007, sebesar 142 negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati, sementara 55 negara lainnya masih menerapkan hukuman mati. Dalam catatan KontraS, sebanyak 118 orang terancam dihukum mati di Indonesia, dengan rincian 56 orang terpidana kasus pembunuhan, 55 orang terpidana kasus narkoba dan 7 orang terpidana kasus terorisme. Sementara 11 aturan masih menerapkan pidana mati dan belum diharmonisasikan dengan kostitusi. RUU KUHP baru masih menerapkan hukuman mati meski memberikan ruang lewat penundaan eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon) – Lihat Laporan KontraS : Praktek Hukuman Mati di Indonesia.
Berdasarkan pada kenyataan di atas, kami memandang langkah politik berupa moratorium adalah hal mendesak yang harus dilakukan. Pemerintah juga harus segera melakukan amandemen terhadap aturan hukuman mati yang melanggar konstitusi. Di sisi lain, kami meminta pemerintah tetap mengacu pada Safeguards Guaranteening Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty (Jaminan Perlindungan bagi mereka yang Menghadapi Hukuman Mati), sesuai Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50 dan Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59, sebagai pembatasan yang tidak bisa dikurangi. Jakarta, 10 Oktober 2007 Indria Fernida A, Kepala Operasional Syamsul Alam Agus, Divisi Pembelaan Hukum, Konflik dan Perdamaian
http://www.kontras.org/poso/index.php?hal=data
Permasalahan
1. Identifikasi Gerakan
a. Siapakah Pendiri Kontras?
b. Apakah ideologi yang dimiliki oleh kontras?
c. Apakah tujuan yang ingin dicapai oleh kontras?
d. Outcome apa yang dihasilkan oleh kontras?
e. Bagaimanakah proses penyebaran dari kontras?
f. Bagaimanakah cara perekrutan anggota dari kontras?
g. Bagaimanakah strategi yang dilakukan oleh kontras?
h. Taktik apakah yang dilakukan ketika melakukan gerakan?
i. Bagaimanakah struktur jaringan dalam kontras?
j. Basis massa apkah yang digunakan oleh kontras?
k. Bagaimana karakteristik yang terdapat pada kontras?
2. Konteks Gerakan
Apakah konteks gerakan dari kontras?
3. Hambatan Gerakan
Apa saja hambatan yang dihadapi oleh kontras ketika melakukan gerakan?
Kerangka Konsep
Gerakan Sosial Baru
Gerakan sosial baru merupakan gambaran bahwa gerakan sosial yang terjadi tidak hanya terbatas pada konflik material. Di sisi lain munculnya paradigma gerakan sosial baru menjadikan gerakan sosial sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan civil society, tetapi menekankan pada bentuk-bentuk partisipasi politik yang tidak konvensional dan tidak melalui lembaga-lembaga formal. Dalam gerakan sosial baru, perubahan yang diharapkan terjadi pada dimensi structural dan kultural. Gerakan sosial baru lebih melihat pada kesadaran yang kritis tentang status quo ketimbang kelas pekerja tentang aturan sosial dan isu-isu kebijakan luar negeri.
Isu yang diangkat dalam gerakan sosial baru lebih menekankan kepada humanis, kultural, non materialistis. Dimana hal ini lebih menekankan kepada identitas individu sehingga hal ini menggambarkan bahwa nilai yang diangkat dari gerakan sosial baru yaitu universal dan pluralistik. Konteks masyarakat dalam gerakan sosial baru terjadi pada masyarakat post industri dan post modern. Artinya, gerakan sosial baru lebih menekankan kepada kualitas dibandingkan dengan kuantitas. Hal ini dikarenakan masyarakat post modern dan industri adalah masyarakat yang secara ekonomi sudah mapan, kesejahteraan tinggi, tidak memikirkan kebutuhan primer. Salah satu hal yang mencirikan gerakan sosial baru adlah digunakannya simbol tertentu sebagai bentuk identitas dari gerakannya. Sebagai contoh adalah penggunaan kaos bergambar pejuang HAM Munir dalam setiap aksi yang dilakukan oleh LSM Kontras.
Gerakan sosial baru memiliki karakteristik sendiri yaitu terdapatnya derajat solidaritas yang tinggi diantara anggota aktivis atau kelompok pergerakan, dengan memfokuskan perhatian pada HAM, kebijakan publik, otonomi (dari masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat), adanya identitas dan kemuliaan individu manusia yang bertentangan dengan alienasi, menentang manipulasi, ketergantungan dan birokratisasi (Misztal & Misztal 1988).
Teori Pemberontakan Merton
Merton menyatakan bahwa ada lima tipe cara adaptasi individu dalam penyimpangan yang terjadi pada jenjang mikro. Salah satunya adalah teori mengenai pemberontakan (rebellion). Dimana pola adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain. Dalam kaitannya dengan Kontras jelas terlihat bahwa pada hakikatnya didirikan sebagai bentuk pemberontakan yang bersifat preventif untuk membentuk sebuah sistem hukum yang berkeadilan pada rakyat. Sehingga ada perubahan struktur hukum yang diharapkan oleh Kontras. Karena para korban Kontras secara tidak langsung juga mulai menghadapi pola adaptasi yang baru dengan memiliki “ frame “ bahwa pemerintah serta sistem hukum selama ini tidak berpihak pada mereka. Ini dikarenakan mereka merasa bahwa tidak ada niatan dari pemerintah sampai saat ini untuk menyelesaikan masalah mereka. Dari pola adaptasi tersebutllah menjadi faktor pionir untuk mengybah sistem hukum yang ada di Indonesia yang menjungjung kedaulatan rakyat.
Disisi lain teori ini juga menyebutkan adanya pengaruh pimpinan dalam pemberontakan untuk mengubah struktur sosial yang ada. Dalam kasus ini kami mengkaitkan bahwa Kontras dapat dianggap sebagai pemimpin pemberontakan yang bersifat peventif untuk mengakulasikan para korban kekerasan untuk menuntut hak – hak mereka dan juga menimta agar hukum dapat berpihak pada mereka. Walaupun pemimpin dalam hal ini bukan pada tingkat individual atau perseorangan tetapi dapat dikatakan bahwa Kontras menjadi sebuah sarana untuk para korban menuntut keadilan. Sehingga jelas Kontras dapat menjadi pemimpin yang membantu para korban dalam memperjuangkan hak mereka serta untuk penegakan hukum yang adil untuk semua rakyat Indonesia.
Teori Pertukaran Modern George C. Homans
Dalam teori ini Homans menyatakan bahwa seseorang akan semakin cenderung melakukan tindakan manakala tindakan tersebut makin sering disertai imbalan. Dari proses pertukaran semacam inilah, menurut Homans muncul organisasi sosial, baik yang berupa kelompok, institusi, maupun masyarakat. Teori tersebut merupakan pengaruh dari psikologi Skinner sehingaa teori pertukaran Homans berorientasi pada seseorang. Berkaitan dengan Kontras bahwa tindakan para korban kekerasan dengan aksi protes tentunya untuk mendapatkan imbalan dari pemerintah dengan menegakkan hukum yang setimpal kepada para pelaku tindakan kekerasan juga untuk mereformasi sistem hukum yang ada di Indonesia saat ini. Dengan berdirinya kontras menggambarkan adanya proses pertukaran interaksi yang terjadi antara sesama korban tindakan kekerasan dan orang hilang untuk mendapat imbalan berupa penyelesaian kasus mereka serta mengubah struktur hukum yang berpihak pada rakyat. Jadi jelas bahwa dalam teori ini ada peran psikologis sesorang dalam terbentuknya sebuah organisasi sosial. Dimana Kontras terbentuk dengan mengakumulasi peran psikologis para korban untuk mendapatkan imbalan keadilan dari pemerintah.
Analisis
1. Identifikasi Gerakan
a. Pendiri Kontras
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), yang lahir pada 20 Maret 1998 merupakan satuan tugas yang dibentuk oleh sejumlah organisasi civil society dan tokoh masyarakat. Satuan tugas ini semula bernama KIP-HAM yang telah terbentuk pada tahun 1996. KIP HAM merupakan komisi untuk memantau persoalan HAM. Dalam beberapa pertemuan dengan masyarakat korban, tercetuslah ide untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani kasus-kasus orang hilang sebagai respon praktik kekerasan yang terus terjadi dan menelan banyak korban. Pada saat itu seorang ibu yang bernama Ibu Tuti Koto mengusulkan dibentuknya badan khusus tersebut. Selanjutnya, disepakatilah pembentukan sebuah komisi yang menangani kasus orang hilang dan korban tindak kekerasan dengan nama KontraS. Disamping itu yang menjadi aktor utama Kontras adalah Munir. Tepatnya pada tanggal 16 April 1996, Munir menjadi pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini.
Di lembaga inilah nama Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang menjadi korban penculikan rezim penguasaorde baru. Perjuangan Munir tentunya tak luput dari berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap diri dan keluarganya. Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif. Munir tidak sendiri dalam mendirikan kontras. Ia bersama sebelas nama yang menjadi badan pendiri Kontras lainnya, Mulyana W Kusumah, Standarkiaa, Sirra Prayuna, dan Happy Darmawan dari Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Desyana (Lapasip), serta Nuniek dan Agus Budi Santoso (Pipham). Namun untuk saat ini, coordinator Kontras bernama Usman Hamid.
b. Ideologi Kontras
Kontras memiliki ideologi demokratisasi HAM yang berarti bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintahan negara tersebut. Tujuan demokrasi ini ialah mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan negaranya.
c. Tujuan Kontras
1. Mewujudkan demokrasi yang berpusat pada keadilan HAM
2. Membangun kepekaan masyarakat atas berbagai bentuk kekerasan, penghilangan orang secara paksa, penganiayaan, menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia
3. Menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia
4. Menuntut keadilan dan pertanggung jawaban Negara atas kekerasan dan pelanggaran HAM melalui berbagai upaya advokasi
d. Outcome
Struktural
Kontras berupaya untuk mendorong perubahan pada sistem hukum dan politik yang memberikan keadilan serta perlindungan rakyat dari kekerasan dan pelanggaran HAM.
Kultural
Kontras berupaya membangun atau membentuk frame masyarakat akan pentingnya penghargaan HAM.

e. Proses Penyebaran
Kontras melakukan proses penyebaran melalui gerakan civil society secara horizontal karena mengikat komunitas atau gerakan-gerakan yang berbasis pada HAM. Kontras didukung oleh sejumlah aktivis organisasi nonpemerintah (ornop) antara lain, KIPP, YLBHI, AJI, Lapasip, Pipham, PMKRI, serta PMII yang berbentuk forum.
f. Pola Perekrutan Anggota
Menurut informan kami (Marulloh, korban pelanggaran HAM di Tanjung Priok, sekaligus anggota Kontras) pola perekrutan anggota Kontras dengan cara menampung anggota Kontras yang menjadi korban pelanggaran HAM, melalui seminar HAM, dan didirikan pula sekolah HAM. Salah satu seminar yang diadakan bekerja sama dengan Universitas Indonesia dan LSM luar negeri yang bertemakan keadilan HAM. Seminar diadakan melalui undangan untuk menarik minat pengunjungnya. Cara lainnya ialah melalui informasi dari orang per orang yang mengetahui tentang LSM kontras ini sebagai LSM yang peduli HAM. Dengan kata lain, perekrutan juga dilakukan melalui rekomendasi seseorang. Mahasiswa juga bisa mendaftar langsung menjadi anggota Kontras.
g. Strategi
•Kontras memiliki strategi yang bersifat preventif atau mencegah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari adanya kecenderungan yang menempatkan bagian-bagian dalam masyarakat sebagai sasaran dan korban politik kekerasan yang dilakukan oleh negara dan atau kekuatan-kekuatan besar yang potensial melakukan hal itu.
•Menuntut adanya pertanggungjawaban hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM, melalui mekanisme dan prosedur hukum yang adil.
•Merehabilitasi korban meliputi upaya pemulihan secara fisik maupun psikis dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan negara dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya, mutlak diperlukan dalam melakukan advokasi yang lebih luas.
•Mobilisasi Sikap dan Opini melalui anti politik kekerasan dan pelanggaran HAM
h. Taktik
Kontras memiliki taktik berupa pembuatan buku tentang HAM berjudul “Stagnasi HAM” yang diterbitkan Januari 2002, protes aksi setiap hari Kamis sore di depan istana. Protes aksi ini sudah dilakukan sebanyak 130 kali. Namun, pemerintah tidak mau mendengarkan keluhan para demonstran. Para praktisi pendidikan dan pusat-pusat studi yang yang berada di berbagai kampus juga mulai mengkaji, melakukan penelitian mengenai persoalan-persolan HAM yang terjadi di Indonesia, sampai ahirnya Indonesia juga membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
i. Struktur Jaringan
Struktur Jaringan Kontras sudah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh , Medan, Semarang, Bali, Papua, tetapi Pusatnya jalan Borobudur no. 14.
j. Basis Massa
Basis massa LSM ini ialah para aktivis non pemerintah yang sebelumnya sudah bergabung dengan LSM-LSM lain seperti KIPP, YLBHI, AJI, Lapasip, Pipham, PMKRI, serta PMII yang berbentuk forum. Kemudian mahasiswa yang peduli pelanggaran HAM, para korban pelanggaran HAM, aktivis hukum, dan praktisi pendidikan.
k. Karakteristik Kontras
Karakteristik anggota Kontras terlihat saat protes aksi dilakukan yakni dengan memakai kaos bergambar Munir. Gambar Munir tersebut sebagai simbol atau lambang bahwa mereka adalah anggota Kontras. Selain itu, menggunakan Bendera bertuliskan “Kontras”.
2. Konteks Gerakan
•Konteks sosial Kontras ialah ingin membantu menyelesaikan kasus orang hilang dan tindak kekerasan seperti korban Petrus (Penembak Misterius) Pada masa orba.
•Konteks politik Kontras dikarenakan adanya ketidakpuasan akan struktur kekuasaan yang tidak berpihak pada HAM terutama di masa orde baru.
3. Hambatan gerakan
Hambatan gerakan ini terletak pada hambatan struktural dimana pemerintah tidak mau pro tehadap keluhan korban pelanggaran HAM saat protes aksi di depan istana Negara. Pemerintah juga tidak bersedia membantu menyelesaikan konflik-konflik pelanggaran HAM di Indonesia meskipun telah dilakukan 130 kali protes aksi di depan istana.
4. Analisis Artikel
Pada artikel pertama digambarkan terjadinya Bentrokan di Poso yang menyebabkan Kontras turun tangan dalam menyelesaikan tindak kekerasan. Terdapat dua versi terjadinya bentrokan ini, menurut warga dimulai oleh aparat kepolisian dengan mengeluarkan tembakan kepada warga sedangkan menurut polisi, warga yang pertama kali melakukan serangan saat operasi razia Idul Fitri dengan senjata tajam dan senjata api. Pada artikel dua, kontras lebih menangani pelaksanaan hukuman mati di Indonesia yaitu Kontras ingin pemerintah segera melakukan amandemen terhadap aturan hukuman mati yang melanggar konstitusi.
Dalam teori Merton yang mengkaji mengenai penyimpangan pada jenjang mikro melalui pemberontakan atau rebellion. Dalam konteks ini jenjang mikro terlihat pada artikel pertama bahwa adanya pemberontakan dari warga kepada polisi lebih didasari pada penyimpangan yang dilakukan oleh polisi karena pada jenjang mikro menurut Merton dilihat pada jenjang interaksi sosial. Artinya, ada interaksi yang dihasilkan polisi dengan melakukan tembakan terlebih dahulu yang kemudian menghasilkan bentrokan sebagai aksi balasan terhadap Brimob.
Di sisi lain penyimpangan sosial Merton yang terjadi pada jenjang makro yaitu pada jenjang struktur sosial. Dalam hal ini Kontras melihat bahwa ada penyimpangan dalam pelaksanaan hukuman mati karena melanggar hak manusia. Salah satunya hak untuk hidup (right of life). Menurut Kontras, adanya pelaksanaan hukuman mati tidak mengurangi pelaku dan tindak kejahatan. Dengan kata lain, penyimpangan dalam jenjang struktur sosial tetap terjadi. Hal ini berkaitan dengan teori Merton tentang penyimpangan sosial.

5. Arah Gerakan
Gerakan Kontras diprediksi mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan Kontras sampai saat ini eksistensinya masih diakui masyarakat walaupun Kontras telah kehilangan salah satu pejuangnya yaitu Munir. Di samping itu, masih banyak isu-isu HAM yang menjadi Pekerjaan Rumah bagi kontras. Terutama kasus pembunuhan Munir yang sampai saat ini belum menemukan titik temu. Eksistensi Kontras sampai saat ini masih terlihat dengan menangani masalah yang terjadi di antara KPK dan POLRI. Di bawah koordinasi Usman Hamid yang juga sebagai pengamat hukum, Kontras hingga saat ini mampu menjalankan fungsinya untuk tetap menjadi wadah perlindungan HAM di Indonesia. Hal-hal inilah yang menunjang perkembangan Kontras kedepan.
Kerangka Konsep
Gerakan Sosial Baru
Perubahan sosial yang dikehendaki oleh gerakan sosial baru berdimensi structural dan kultural. Dalam konteks structural, eksistensinya dilihat sebagai salah satu kekuatan efektif dalam menciptakan liberalisasi dari rezim otoriter seperti halnya gerakan-gerakan yang terjadi di Brazil,Chili, dan Uruguay ( Lanegran 1996). Sementara dari sudut budaya, teori gerakan sosial baru menjelaskan tuntutan perubahan pola pandang dan perilaku masyarakat yang berorientasi pada nilai-nilai egalitarian dengan peran penting kelas menengah ( middle class ). Perkembangan kemajuan dalam masyarakat post industry (post industrial society) menimbulkan pergeseran budaya ( cultural shift), dimana gerakan sosial dianggap sebagai bentuk dari perubahan nilai-nilai akibat dari pertumbuhan kesejahteraan masyarakat ( Rose 1997).
Gerakan ini yang paling menonjol dilakukan adalah dengan paradigma baru bahwa terdapat derajat solidaritas yang tinggi diantara sesama anggota aktivis atau kelompok pergerakan dengan memfokuskan perhatian pada HAM ( Hak Asasi Manusia ), kebijakan publik, otonomi ( dari masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat), adanya identitas dan kemuliaan individu manusia yang bertentangan dengan alienansi menentang manipulasi, ketergantungan dan birokratisasi.
Teori Pemberontakan Merton
Merton menyatakan bahwa ada lima tipe cara adaptasi individu dalam penyimpangan yang terjadi pada jenjang mikro. Salah satunya adalah teori mengenai pemberontakan ( rebellion ). Dimana pola adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain. Dalam kaitannya dengan Kontras jelas terlihat bahwa pada hakikatnya didirikan sebagai bentuk pemberontakan yang bersifat preventif untuk membentuk sebuah sistem hukum yang berkeadilan pada rakyat. Sehingga ada perubahan struktur hukum yang diharapkan oleh Kontras. Karena para korban Kontras secara tidak langsung juga mulai menghadapi pola adaptasi yang baru dengan memiliki “ frame “ bahwa pemerintah serta sistem hukum selama ini tidak berpihak pada mereka. Ini dikarenakan mereka merasa bahwa tidak ada niatan dari pemerintah sampai saat ini untuk menyelesaikan masalah mereka. Dari pola adaptasi tersebutllah menjadi faktor pionir untuk mengybah sistem hukum yang ada di Indonesia yang menjungjung kedaulatan rakyat.
Disisi lain teori ini juga menyebutkan adanya pengaruh pimpinan dalam pemberontakan untuk mengubah struktur sosial yang ada. Dalam kasus ini kami mengkaitkan bahwa Kontras dapat dianggap sebagai pemimpin pemberontakan yang bersifat peventif untuk mengakulasikan para korban kekerasan untuk menuntut hak – hak mereka dan juga menimta agar hukum dapat berpihak pada mereka. Walaupun pemimpin dalam hal ini bukan pada tingkat individual atau perseorangan tetapi dapat dikatakan bahwa Kontras menjadi sebuah sarana untuk para korban menuntut keadilan. Sehingga jelas Kontras dapat menjadi pemimpin yang membantu para korban dalam memperjuangkan hak mereka serta untuk penegakan hukum yang adil untuk semua rakyat Indonesia.
Teori Pertukaran Modern George C. Homans
Dalam teori ini Homans menyatakan bahwa seseorang akan semakin cenderung melakukan tindakan manakala tindakan tersebut makin sering disertai imbalan. Dari proses pertukaran semacam inilah, menurut Homans muncul organisasi sosial, baik yang berupa kelompok, institusi, maupun masyarakat. Teori tersebut merupakan pengaruh dari psikologi Skinner sehingaa teori pertukaran Homans berorientasi pada seseorang. Berkaitan dengan Kontras bahwa tindakan para korban kekerasan dengan aksi protes tentunya untuk mendapatkan imbalan dari pemerintah dengan menegakkan hukum yang setimpal kepada para pelaku tindakan kekerasan juga untuk mereformasi sistem hukum yang ada di Indonesia saat ini. Dengan berdirinya kontras menggambarkan adanya proses pertukaran interaksi yang terjadi antara sesama korban tindakan kekerasan dan orang hilang untuk mendapat imbalan berupa penyelesaian kasus mereka serta mengubah struktur hukum yang berpihak pada rakyat. Jadi jelas bahwa dalam teori ini ada peran psikologis sesorang dalam terbentuknya sebuah organisasi sosial. Dimana Kontras terbentuk dengan mengakumulasi peran psikologis para korban untuk mendapatkan imbalan keadilan dari pemerintah.

Ditulis Oleh Mahasiswa Pendidkan Sosiologi UNJ Reg '07
1. DWI PURWANINGSIH
2. EKA RETNO PERTIWI
3. M. AZDI
4. NANI RAHAYU
5. SAYANG AGNIETIA
6. WIDYA NINGSIH

1 komentar: