Entri Populer

Kamis, 15 September 2011

Dari Maraknya Ormas Hingga Aksi Terorisme : Sebuah Telaah Singkat atas Eksistensi Islam Radikal Di Indonesia

Dari Maraknya Ormas Hingga Aksi Terorisme : Sebuah Telaah Singkat atas Eksistensi Islam Radikal Di Indonesia
by Azdi Scouzie

Wacana mengenai Islam radikal bukanlah menjadi satu hal yang asing dewasa ini. Hal tersebut tidak lepas dari peran serta media barat dalam membentuk pemaknaan masyarakat internasional akan gerakan Islam terkait dengan pergolakan politik di Timur Tengah. Pandangan masyarakat internasional terhadap Islam radikal juga turut dipengaruhi oleh gagasan-gagasan cendekiawan barat yang memberikan beragam label terhadap Islam radikal, seperti kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terorisme. Adapun yang dimaksud dengan radikalisme sendiri adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[1] Hal ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya sangat mengutamakan kedamaian dan melarang tindak kekerasan yang merugikan orang banyak.

Perhatian internasional tertuju kepada Indonesia ketika gerakan-gerakan berbasis massa Islam semakin menunjukkan eksistensinya pasca reformasi. Ketika keran kebebasan berkelompok dan berpendapat dibuka setelah reformasi, banyak gerakan-gerakan maupun kelompok-kelompok Islam baik yang radikal maupun tidak mulai muncul ke permukaan. Kelompok-kelompok tersebut bahkan turut memiliki peran dalam reformasi. Organisasi-organisasi bercorak Islam seperti HMI dan KAMMI adalah salah satu dari sekian banyak organisasi Islam lainnya yang turut berperan dalam aksi penggulingan presiden Soeharto.

Perhatian internasional terhadap gerakan Islam di Indonesia semakin besar ketika kelompok-kelompok Islam radikal dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap tragedi bom Bali jilid pertama yang kemudian diiringi dengan serangkaian aksi teror bom lainnya. Selain maraknya aksi bom bunuh diri, sering pula terjadi aksi sweeping yang diiringi dengan tindak kekerasan oleh kelompok Islam tertentu. Dalam tulisan singkat kali ini penulis bermaksud untuk mengurai fenomena radikalisme Islam disertai dengan pendekatan perspektif sosiologis yang dianggap relevan oleh penulis.

Eksistensi Islam Radikal di Indonesia

Kelompok-kelompok Islam yang eksistensinya menguat pasca reformasi terkadang memiliki corak ideologis yang sangat beragam, mulai dari JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sangat liberal dan sekuler, hingga FPI, HTI, dan beragam kelompok Islam lainnya yang cenderung sangat fanatik atau fundamental dan radikal dalam kacamata barat. Tidak hanya yang terlihat di permukaan, beberapa kelompok Islam juga masih ada yang bergerak melalui jalur bawah tanah seperti NII yang memiliki gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara Islam. Basis ideologi dari banyak kelompok Islam radikal di Indonesia sebenarnya terinspirasi dari gerakan jihad pada masa pergolakan politik di Timur Tengah yang berlangsung puluhan tahun. Ketika situasi termutakhir di Timur Tengah mengarah pada semakin adaptif dan terbukanya kelompok Islam, radikalisme justru menyemai benihnya di Indonesia.[2] Bahkan tindakan takfir (mengkafirkan) yang dilakukan oleh banyak gerakan Islam radikal membuat mereka menyandang gelar sebagai neo-khawarij.

Perkembangan terakhir terkait dengan isu radikalisme Islam menggiring kita pada serangkaian aksi teror bom buku dan gerakan anti Ahmadiyah yang dimotori oleh beberapa kelompok Islam yang dianggap berhaluan radikal. Tentu masih segar dalam ingatan kita ketika media membombardir masyarakat dengan berita mengenai insiden Cikeusik yang melibatkan FPI dengan jamaah Ahmadiyah. Di luar differensiasi antara Ahmadiyah dengan ideologi mainstream Islam, penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah mengindikasikan bahwa kelompok-kelompok Islam yang menentangnya dapat menjadi sebuah gerakan sosial yang mengarah pada tindak anarkis. Kelompok Islam seperti FPI juga gencar melakukan demonstrasi yang menyerukan pembubaran Ahmadiyah dan tuntutan akan penegakan syariat Islam di berbagai daerah di Indonesia.[3]

Serangkaian aksi teror bom buku yang terjadi di berbagai kota di Indonesia juga menunjukkan bahwa gerakan Islam radikal di Indonesia masih belum lelah untuk unjuk kekuatan pasca tewasnya Noordin M. Top yang sebelumnya dianggap sebagai dalang utama dari aksi bom di Indonesia. Mereka yang melakukan aksi teror bom adalah anggota-anggota dari kelompok Islam yang beranggapan bahwa aksi bom adalah bagian dari jihad. Dalam kasus ancaman bom di dekat gereja Christ Chatedral Serpong Polisi berhasil menangkap sembilan belas pelaku yang merupakan jaringan baru teroris dengan pola yang masih sama dengan kelompok Noordin M. Top.[4]

Islam Radikal dalam Analisis Konflik

Dalam kacamata sosiologis, perspektif konflik yang berawal dari gagasan Marx dapat digunakan sebagai pisau bedah dalam kajian yang terkait dengan bermunculannya gerakan Islam radikal di Indonesia. Pada dasarnya Marx melihat bahwa agama adalah candu dan salah satu elemen pencipta kesadaran semu (false consciousness) yang dapat menghambat potensi terjadinya perjuangan dari kelas yang tertindas.[5] Tentu saja hal ini bertentangan dengan wacana gerakan Islam radikal dimana agama justru menjadi motor penggerak dari sebuah gerakan sosial. Namun di sisi lain perspektif konflik mampu untuk menjelaskan bagaimana kelompok Islam radikal sebagai sebuah gerakan sosial yang minoritas memutuskan untuk melakukan aksi anarkis maupun teror sebagai bentuk kekecewaan terhadap situasi yang tercipta dalam sistem sosial di Indonesia yang dianggap bertentangan dengan landasan ideologis kelompok-kelompok Islam tersebut.

Perspektif konflik melihat bahwa masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa dalam masyarakat manapun konflik atau ketegangan pasti terjadi. Teori konflik melihat adanya otoritas yang berbeda-beda dalam masyarakat dimana terdapat kalangan yang superordinat dan kalangan yang subordinat. Keberadaan superordinasi dan subordinasi dalam masyarakat akan memicu terjadinya konflik dalam masyarakat karena adanya perbedaan kepentingan diantara mereka yang termasuk dalam kalangan superordinat dan mereka yang termasuk ke dalam kalangan subordinat.

Dalam kasus Islam radikal di Indonesia mereka yang termasuk kedalam kelompok Islam radikal adalah mereka yang dianggap sebagai kelompok yang subordinat. Posisi mereka sebagai subordinat tidak hanya karena basis massa mereka yang masih minoritas, namun karena mereka bertentangan dengan pemahaman Islam mainstream di Indonesia yang membuat mereka menjadi kelompok-kelompok yang cenderung eksklusif. Aksi anarkis maupun teror yang mereka ciptakan adalah luapan dari kekecewaan mereka terhadap kondisi dalam sistem sosial yang tidak mampu mengakomodir pemahaman ideologis mereka yang sangat straight dalam penerapan syariat Islam maupun mimpi mereka terhadap berdirinya sebuah kekhalifahan Islam di Indonesia.

Teori konflik melihat bahwa keteraturan dalam masyarakat terjadi karena adanya paksaan atau koersi. Beragam kelompok masyarakat dalam struktur sosial – termasuk kelompok radikal berbasis agama – berada dalam posisi yang subordinat, dimana pemerintah sebagai pemilik konstitusi menerapkan peraturan-peraturan malalui undang-undang yang wajib dipatuhi oleh segenap elemen masyarakat. Ketika pemerintah tidak mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan dari kelompok yang menginginkan terjadinya perubahan – seperti halnya keinginan menerapkan syariat Islam oleh kelompok Islam radikal – maka potensi terjadinya konflik akan selalu ada. Konflik tentu menjadi satu hal yang tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam hal ini konflik yang ada diaktualisasikan oleh kelompok Islam radikal dalam bentuk tindakan anarkis hingga aksi teror bom.

Posisi kelompok-kelompok Islam radikal yang subordinat membuat mereka sulit untuk memperjuangkan ideologinya melalui saluran-saluran yang sudah tercipta dalam struktur sosial maupun birokrasi di Indonesia. Mereka tentu sulit untuk memperjuangkan kekhalifahan atau penegakan syariat Islam melalui jalur konstitusi yang sedari awal memang dirancang untuk mengakomodir seluruh agama dan beragam kultur budaya di Indonesia. Belum lagi masih banyak elemen dalam perundang-undangan di Indonesia yang merupakan warisan dari perundang-undangan pada masa pendudukan Belanda di Indonesia.

Islam yang Rahmatan Lil’Alamin, Sebuah Antitesis Terhadap Islam Radikal

Gerakan Islam radikal di Indonesia pada dasarnya adalah luapan kekecewaan sebagian dari masyarakat Islam di Indonesia terhadap kondisi dalam sistem sosial yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun sayangnya mereka mengaktualisasikan kekecewaan mereka tersebut dalam bentuk tindakan anarkis dan teror. Di luar kepentingan-kepentingan yang dibawa masing-masing kelompok Islam, sesungguhnya Islam sendiri sangat tidak menganjurkan tindak kekerasan. Perlu diketahui bahwa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir hanya berperang dalam keadaan terdesak dan ketika pintu konsensus dengan pihak yang berlawanan tidak berhasil ditemukan. Dalam kasus yang terjadi di Indonesia kelompok Islam berhaluan radikal seringkali langsung bergerak dengan tindakan kekerasan tanpa terlebih dahulu berupaya menemukan konsensus yang dapat diterima oleh semua kalangan.

Dalam Islam sendiri terdapat konsep Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin dimana Islam adalah agaman yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Dengan dasar konsepsi tersebut, sesungguhnya Islam adalah agama yang membawa pesan kedamaian, bahkan kepada mereka yang beragama selain Islam. Namun ketika kepentingan kelompok telah bermain dan kekecewaan sebagian kelompok Islam terhadap sistem sosial yang ada sudah tidak terbendung maka konflik yang berujung pada tindak kekerasan dan aksi teror menjadi satu hal yang sangat mungkin untuk terjadi. Adapun Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian.[6] Dalam kaitannya dengan gerakan Islam radikal saat ini, maka agama selanjutnya hanya menjadi simbolitas semata karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh gerakan Islam radikal sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam.

Dari keseluruhan hal yang telah dijelaskan oleh penulis, dapat dilihat bahwa kemunculan isu Islam radikal tidak semata hasil kontruksi media barat, namun juga imbas dari kekecewaan terhadap kondisi dalam sistem sosial yang tidak mampu mengakomodir kelompok-kelompok Islam tertentu menjadi penyebab utama tindakan anarkis dan serangkaian aksi teror bom oleh gerakan Islam radikal. Sekalipun Islam pada dasarnya mengajarkan kedamaian, namun ketika kekecewaan membuncah dan kepentingan-kepentingan terus bermain, maka potensi terciptanya radikalisme akan selalu ada.

Menyikapi fenomena Islam radikal di Indonesia, pemerintah sebagai pemilik dan pengampu kebijakan memiliki peran besar untuk menciptakan iklim yang kondusif di tengah masyarakat. Mereka yang memutuskan untuk bergabung dengan kelompok Islam radikal pada umumnya adalah mereka yang lelah dengan kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Ketika sistem sosial yang ada dianggap tidak mampu mengakomodir harapan mereka akan penghidupan yang layak maka akan sangat mudah sekali bagi mereka untuk bergabung dengan gerakan-gerakan radikal – baik yang berbasis agama maupun tidak – untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis dan aksi teror.

Daftar Pustaka

Internet

http://www.detiknews.com/read/2011/04/22/165403/1623502/10/pelaku-teror-bom-buku-dan-serpong-bermotif-jihad (Diakses pada tanggal 10 Juni 2011).

http://www.inilah.com/read/detail/1249492/massa-anti-ahmadiyah-serukan-revolusi (Diakses pada tanggal 10 Juni 2011).

Buku

Madjid, Nurcholis. 1995. Islam Agama Peradaban, Mencari Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional. Bandung: Mizan.

Ngatawi, Al-Zastrouw. 2006. Gerakan Islam simbolik: politik kepentingan FPI. Yogyakarta: LKiS.

Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LKiS.

[1] Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hlm.124.

[2] Al-Zastrouw Ngatawi, Gerakan Islam simbolik: politik kepentingan FPI, Yogyakarta: LKiS, 2007, hlm.7.

[3] http://www.inilah.com/read/detail/1249492/massa-anti-ahmadiyah-serukan-revolusi

[4] http://www.detiknews.com/read/2011/04/22/165403/1623502/10/pelaku-teror-bom-buku-dan-serpong-bermotif-jihad

[5] Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm.165.

[6] Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Mencari Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm.260.

Sumber : http://nusabakti.wordpress.com/2011/07/01/dari-maraknya-ormas-hingga-aksi-terorisme-sebuah-telaah-singkat-atas-eksistensi-islam-radikal-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar