Entri Populer

Senin, 25 April 2011

Perempuan dalam Sosiologi Gender

KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM RANAH POLITIK DARI SUDUT PANDANG GENDER ANALYSIS PATHWAY (GAP)



latar Belakang

Saat ini peran perempuan dalam politik dapat dikatakan masih sedikit, meskipun pemerintah telah membuka kesempatan untuk perempuan berpolitik. Melalui kebijakan-kebijakan seperti peraturan perundang-undangan yang telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatif. Keterwakilan perempuan dalam politik terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian.
Perdebatan mengenai peran perempuan dalam kancah politik seolah tak pernah habis dibahas bagi sebagian orang. Setidaknya dalam satu dekade ini, wacana keterlibatan perempuan yang lebih jauh dalam ranah yang selama ini didominasi oleh kaum pria mulai banyak bermunculan. Sejalan dengan itu, banyak pula bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang cukup bisa 'bermain' dalam dunia yang dianggap sebagian orang sebagai dunia penuh intrik, lobi-lobi bahkan tak bernurani ini. Sebut saja seperti mantan Presiden Megawati Soekarno Putri, Tuti Alawiyah, Khofifah Indar Parawansa,
Nursyjahbani Katjasungkana, Ribka Tjiptaning, Aisjah Amini, Marissa Haque hingga yang baru-baru ini didaulat menjadi Ketua Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Meutia Hatta Swasono. Nama-nama tersebut tentunya baru sedikit dari rartusan bahkan mungkin ribuan perempuan-perempuan hebat yang siap meramaikan panggung percaturan politik di Indonesia. Di berbagai daerah, masih sangat banyak perempuan-perempuan yang terbukti mampu menjalankan dan ambil peranan dalam kebijakan pembangunan daerahnya. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia (UI) bersama Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, meluncurkan data base perempuan potensial di bidang politik. Dalam data base tersebut, disebut-sebut adanya 996 wanita potensial, yang siap mengusung perubahan. Para tokoh perempuan itu, tidak hanya dari kalangan partai politik, tapi juga dari masyarakat sipil yang siap menjadi anggota legislatif di pusat dan daerah.

Menanggapi peran perempuan dalam politik, Roekmini Soedjono, Pengamat Politik dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa peran perempuan Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya lebih maju dibanding negara lain. Tapi perempuan Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik. Gerak perempuan yang berkecimpung dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan dipolakan. Ironinya para perempuan tidak menyadari hal yang demikian. Dalam mengisi kemerdekaan, perempuan terlihat belum bisa memberi warna. Merekapun, kecuali para aktivis muda, cenderung menghindari "wilayah rawan". Hadir semacam kegamangan diantara perempuan yang sudah mempunyai posisi tertentu untuk mendobrak status quo yang terdapat dalam bidang politik. Wilayah-wilayah politik yang memang penuh resiko, tampaknya amat diperhitungkan. Kita mengharapkan para perempuan yang duduk di DPR lebih nyaring bersuara, tetapi kebanyakannya sangat jarang terdengar. Dari penjelasan-penjelasan di atas kelompok kami tertarik untuk mengangkat mengenai peranan perempuan dalam ranah politik dan melihatnya dari sudut pandang teknik analisis gender yaitu GAP atau Gender Analysis Pathway. 


Gender Analysis Pathway (GAP)

Metode GAP merupakan metode analisis untuk menganalisis kesenjangan gender dengan melihat aspek akses peran, manfaat dan kontrol yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam program-program pembangunan yang menjadi pokok bahasan, mulai dari aspek kebijakan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Metode ini dapat memberikan sumbangan pikiran dalam menetapkan program pembangunan, juga disertai membuat kelayakan perencanaan pembangunan yang selalu memperhitungkan kepentingan perempuan dan laki-laki. sehingga metode GAP dapat digunakan oleh perencana dan pelaksana program pembangunan ditingkat pusat dan daerah. Untuk menetapkan prioritas permasalahan dan sasaran serta solusi atau intervensi yang diperlukan. Metode GAP juga telah banyak dikembangkan di Indonesia terutama dalam proses perencanaan program-program yang responsif gender.
Rasionalisasi penggunaan GAP sendiri berawal dari :
GBHN dan Propenas yang mengisyaratkan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program pembangunan Nasional, terutama dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG).
Falsafah KKG pada dasarnya sudah mulai diamanatkan sejak UUD 1945, di mana tanpa membedakan warga negara apakah laki-laki atau perempuan. Atas dasar ini kesenjangan gender harus menjadi pertimbangan untuk dihindari dan dipecahkan melalui kebijakan, perencanaan dan pemantauan.
Kasus dan Analisis
Disini kelompok akan mengangkat permasalahan kebijakan kuota 30% untuk perempuan dalam politik yang meyangkut pula UU politik sebagai bentuk kebijakan dari pemerintah. Dalam  sisi yuridis, kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan, baik di muka hukum maupun pemerintahan, memang dijamin UUD 1945. Namun realitasnya hingga kini kesetaraan itu tidak pernah tercapai. Kebijakan politik Orde Baru justru meminggirkan perempuan dari posisi-posisi politik yang strategis dalam pengambilan keputusan. Akibatnya sebagian besar produk kebijakan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Berikut beberapa persoalan hukum, sosial dan budaya yang mempengaruhi representasi perempuan di dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan. Di dalam masyarakat kita, laki-laki lebih ditempatkan sebagai figur sentral. Dengan demikian laki-laki mendapat kesempatan luas berkiprah di wilayah publik. Sedangkan perempuan yang berpredikat sebagai ibu rumah tangga cukup beraktivitas di wilayah domestik. Pembagian peran tersebut dilegitimasi oleh negara melalui Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan. Di samping melakukan pembagian peran laki-laki dan perempuan, UU Perkawinan Nomor 1/1974 juga membakukan struktur keluarga yang terdiri atas kepala keluarga dan anggota Di Dalam masyarakat, kepala keluarga diberi hak istimewa. Rapat-rapat lingkungan dan pemilihan RT dan RW hanya dihadiri oleh kepala keluarga. Hal ini mengakibatkan segala urusan yang berkaitan dengan lingkungan diputuskan tanpa adanya usulan dari ibu rumah tangga. Padahal segala persoalan yang mereka putuskan itu sangat berkaitan dengan kepentingan ibu rumah tangga. Realitas tersebut menunjukkan sejak awal posisi perempuan di dalam proses pengambilan keputusan memang telah dipinggirkan. Akibatnya berbagai produk kebijakan tidak cukup mengakomodasi kepentingan perempuan. Kondisi demikian menimbulkan dampak lebih luas, yakni keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan. Representasi perempuan di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih sangat minim.
Analisa data keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD menunjukkan jumlah perempuan yang menduduki posisi anggota legislatif di DPR Pusat 8,8%, DPRD I 7%, DPRD II 2%. Apabila ditampilkan dalam gambar, persentase ini berbentuk piramida terbalik yang artinya semakin rendah tingkat lembaga perwakilan akan semakin kecil pula persentase keterwakilan perempuan. Padahal lembaga perwakilan ditingkat terendah paling dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan melalui penyusunan peraturan daerah dan pengalokasian dana pembangunan. Solusi yang diusulkan organisasi perempuan dan beberapa partai politik untuk mengatasi keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan adalah menetapkan kuota bagi perempuan. Tindakan khusus bersifat sementara merupakan tindakan strategis yang harus diambil untuk mempercepat peningkatan representasi perempuan dalam bidang politik. Pencantuman ketentuan jaminan keterwakilan perempuan telah memiliki dasar konstitusional yang kuat. Ketentuan Pasal 28 H ayat 2 UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan sama dalam mencapai persamaan dan keadilan. UU No 39/ 1999 dan UU No 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga mengakui pentingnya jaminan keterwakilan perempuan. Secara eksplisit Pasal 46 UU No 39/1999 menyatakan "sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus
menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. "Kemudian Pasal 4 ayat I Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diratisikasi melalui UU No 7/1984 memberi kewajiban kepada negara membuat peraturan khusus guna mempercepat persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan. Peraturan ini akan diberhentikan apabila tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai. Saat ini legislatif sedang membahas paket UU Politik guna mendorong terwujudnya peningkatan representasi perempuan di bidang politik, badan legislatif seharusnya merumuskan usul jaminan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di lembaga perwakilan (DPR, DPRD dan DPD) dalam UU Pemilu. Jika dalam RUU Pemilu disebutkan DPD diwakili empat orang, maka sekurang-kurangnya satu di antaranya harus perempuan. Di samping itu UU Parpol harus mewajibkan sekurang-kurangnya 30% perempuan kader partai duduk di kepengurusan partai. Hal demikian dapat mendorong partai menciptakan kader kepemimpinan perempuan. Harapan kaum perempuan terhadap cita-cita terwujudnya persamaan di bidang politik masih jauh dari kenyataan. Beberapa fraksi (FPG, FKB dan Fraksi Reformasi) yang membahas RUU Politik dan tergabung dalam rapat kerja Pansus DPR RI juga mengusulkan agar rekruitmen politik dalam pengisian jabatan politik memperhatikan kesetaraan gender minimal 30% bagi perempuan.
Alur Kerja Analisis Gender Model GAP
Tahap I : Analisis Kebijakan yang Responsif Gender
Tahap pertama yang harus dilakukan adalah melakukan analisis kebijakan responsif gender. Tahap ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pembangunan yang ada dan menggunakan data pembuka wawasan yang dipilah menurut jenis kelamin untuk selanjutnya mengidentifikasi kesenjangan gender (gender gap) dan permasalahan gender (gender issues).

Langkah-langkah dalam tahap ini meliputi :
a). Identifikasi tujuan atau sasaran kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang ada saat ini.
b). Sajikan data kuantitatif dan atau kualitatif yang terpilah menurut jenis kelamin sebagai data pembuka wawasan.
c). Analisis sumber terjadinya atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender (gender gap).
d). Identifikasi masalah-masalah gender (gender issues).

Tahap II : Formulasi kebijakan responsif gender
Dalam tahap kedua, kebijakan/program/proyek/kegiatan yang sudah dianalisis kemudian dirumuskan kembali sehingga responsif  gender. Disamping itu, untuk mengetahui apakah kebijakan baru sudah responsif gender maka dibuat indikator gender. Tahap II mencakup langkah-langkah sebagai berikut :
a). Rumuskan  kembali kebijakan/program/proyek/kegiatan/pembangunan yang baku yang responsif gender.
b). Indentifikasi indikator gender.

Tahap III : Rencana Aksi Responsif Gender
Tahap ketiga merupakan tahap untuk menyusun rencana kegiatan yang sudah responsif gender. Langkah-langkah dalam tahap ini adalah :
a). Penyusunan rencana aksi.
b). Identifikasi sasaran-sasaran (kuantitatif atau kualitatif) untuk setiap rencana aksi.
   
Tahap IV : Pelaksanaan Kegiatan
Tahap keempat merupakan tahap pelaksanaan kegiatan yang sudah responsif gender.

Tahap V : Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi perlu dilaksanakan untuk semua tahap, baik mulai dari tahap I sampai dengan tahap IV.

 Kasus dilihat dalam Analisis GAP


Tahap I  : Analisis Kebijakan yang responsif Gender
Ketentuan Pasal 28 H ayat 2 UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan sama dalam mencapai persamaan dan keadilan.
UU No 39/ 1999 dan UU No 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga mengakui pentingnya jaminan keterwakilan perempuan. Secara eksplisit Pasal 46 UU No 39/1999 menyatakan "sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
"Kemudian Pasal 4 ayat I Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diratifisikasi melalui UU No 7/1984 memberi kewajiban kepada negara membuat peraturan khusus guna mempercepat persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan.
Peranan perempuan dalam Pesta Demokrasi yang diselenggarakan oleh Fatayat NU dan Harian Republika menyatakan bahwa meski secara kuantitatif jumlah perempuan Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik perempuan Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, perempuan Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Menurut data dari FISIP UI perkembangan jumlah perempuan dalam parlemen di DPR porsi perempuan meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982. Litbang Republika juga telah mengadakan penelitian tentang aspirasi perempuan anggota perlemen Indonesia pusat dan 5 DPRD (yaitu DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara) terhadap pemberdayaan politik perempuan. Hasilnya, mereka terdorong akan kenyataan bahwa keterwakilan perempuan dalam badan Legislatif masih jauh dari memadai. Yaitu tak lebih dari 12% saja, padahal populasi wanita berjumlah lebih dari 50% dari jumlah total seluruh penduduk yang ada di Indonesia.

Tahap II : Formulasi Kebijakan Responsif Gender
Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Saat ini legislatif sedang membahas paket UU Politik guna mendorong terwujudnya peningkatan representasi perempuan di bidang politik, badan legislatif seharusnya merumuskan usul jaminan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di lembaga perwakilan (DPR, DPRD dan DPD) dalam UU Pemilu. Jika dalam RUU Pemilu disebutkan DPD diwakili empat orang, maka sekurang-kurangnya satu di antaranya harus perempuan. Di samping itu UU Parpol harus mewajibkan sekurang-kurangnya 30% perempuan kader dalam partai harus duduk di kepengurusan partai.
seperti tertuang dalam salah satu pasal di bawah ini :
Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.

Tahap III : Rencana Aksi responsif Gender
Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%.

Tahap IV : Pelaksanaan Kegiatan
Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%).
Meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30% dalam parlemen, itu tidak serta-merta menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pun, pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya disertai sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota itu.

Tahap V : Monitoring dan Evaluasi
Dalam Pasal 57 dan Pasal 58 UU Pemilu Legislatif, misalnya, tentang verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon, tindak lanjut jika kuota keterwakilan perempuan terpenuhi hanya disebutkan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota akan memberikan kesempatan pada parpol untuk memperbaiki daftar calon tersebut dan memberikan alasan tertulis.
Penelitian Republika menunjukkan bahwa kurang terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor kultural maupun struktural. Fakta kultural misalnya ada mitos bahwa politik adalah dunia pria, serta kurangnya kepercayaan diri wanita berkompetisi dengan pria dalam dunia politik. Sedangkan faktor struktural adalah adanya sejumlah aturan main yang mendiskriminasikan wanita. Sebanyak 15 orang responden (14,4%) menyatakan bahwa aktifitas wanita dalam politik terkendala oleh kurangnya dukungan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar