BAB I
Pendahuluan
A.
Gambaran Umum
Pendidikan Indonesia
Indonesia
adalah negara yang berhasil merdeka karena salah satu faktornya yakni
pendidikan. Pendidikan mampu membawa bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan
yang bertahan ratusan tahun lamanya. Sejarah pendidikan dimasa penjajahan
sangatlah buruk dalam segi kualitas dan kuantitas untuk para penduduk pribumi.
Para penjajah sangat tidak mementingkan pendidikan bagi wilayah yang mereka
jajah terutama bangsa Belanda yang telah menjajah Indonesia 350 tahun lamanya.
Akan tetapi, berkat usaha keras dari para pemuda bangsa yang punya tekad untuk
mengenyam pendidikan agar dapat membawa perubahan bagi bangsanya melahirkan
benih-benih kesadaran akan pentingnya kemerdekaan.
Pendidikan
di Indonesia memang mengalami situasi yang terus berkembang. Hal ini dapat kita
lihat melalui perkembangan kurikulum yang berlaku di Indonesia sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. Dimulai dari kurikulum tahun 1968 kemudian menjadi
kurikulum 1975 atau kurikulum 1984 menjadi
1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2006[1].
Perubahan-perubahan yang dilakukan ini tidak lain demi keberhasilan pendidikan
di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003 yang di dalamnya menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara[2]. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai, peran guru
dan manusia dewasa untuk membina anak didik yang ada disekitarnya dengan baik.
Hingga saat ini berbagai upaya peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia sangat gencar dilakukan. Mulai dari terealisasinya
anggaran pendidikan 20% dari APBN negara, subsidi dana BOS dari hasil kenaikan
harga BBM hingga buku-buku gratis agar seluruh anak di Indonesia menuntaskan
program pendidikan 9 tahun. Kiat-kiat diatas diharapkan mampu memberantas angka
buta huruf yang tinggi di Indonesia supaya martabat manusia Indonesia menjadi
lebih baik karena adanya pendidikan. Jika kita melihat lebih dalam hasil atau
evaluasi dari program-program yang dijalankan pemerintah untuk meningkatkan
martabat manusia Indonesia melalui pendidikan belumnya berjalan dengan
maksimal. Masih saja terdapat kelemahan yang terjadi, semisal tidak semua anak
didik mampu bersekolah dengan gratis, buku-buku pelajaran yang masih
diperjual-belikan untuk tambahan guru, pungutan liar di sekolah, bahkan metode
pembelajaran yang diterapkan guru tidak mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu dan hanya mengandalkan satu metode mengajar saja seperti metode ceramah
yang dinilai oleh siswa membosankan.
Beragam permasalahan pendidikan di Indonesia ini membuat
kita semakin khawatir akan nasib bangsa ini. Peran pendidik profesional yakni
guru yang diharapkan mampu menghantarkan anak didik dalam proses pembelajaran
saat ini tidak begitu terlihat. Ujian Nasional (UN) membuat para guru kehilangan
peran dalam mendidik siswa, tetapi kebanyakan hanya mengajarkan materi dengan
tergesa-gesa untuk mengejar target lulus UN sehingga kebervariasian metode
belajar yang harusnya mampu meng-cover
kebutuhan siswa dalam pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotor pun
diabaikan. Perkembangan pengetahuan akan beberapa tipe siswa yang mampu belajar
dengan baik dengan salah satu cara melihat (visual), mendengar (auditori),
praktek/contoh model (kinestetik) tidaklah bisa terjangkau hanya dengan satu
metode mengajar saja. Contoh metode mengajar ceramah, metode ini hanya mampu
menjangkau siswa auditori saja, sedangkan berdampak lemah terhadap siswa visual
dan kinestetik.
B.
Pentingnya Pendidikan Bagi Manusia
Banyak sekali para ahli yang menjelaskan mengenai
pentingkan pendidikan bagi manusia. Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk
mengembangkan bakat-bakat yang dibawa manusia sejak lahir (talenta, teori
konvergensi), sehingga manusia memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk
menghidupi dirinya(profesi)[3]. Manusia
adalah mahluk hidup yang perlu didik, hal ini dikarenakan manusia perlu
merealisasi seluruh hakekat yang melekat pada dirinya, manusia ingin
menyesuaikan diri, manusia ingin menyelesaikan masalahnya, dan manusia
mempunyai keinginan untuk tahu tentang segala sesuatu yang “baru”[4].
Menurut Prof. Dr. N. Drikarkara, pendidikan adalah pe-manusia-an manusia muda
atau pengangkatan pengangkatan manusia ke taraf insani. Kemudian menurut Prof.
Dr. M.J. Langeveld pendidikan adalah usaha untuk memberikan pengaruh,
perlindungan, dan bantuan kepada anak agar terfokus pada pendewasaan anak[5].
Dari pendapat kedua tokoh ini dapat disimpulkan bahwa ketika anak didik telah mendapatkan pendidikan yang baik oleh
orang dewasa dan pendidik profesi (guru), maka anak didik akan menjadi manusia
utuh yang memiliki keterampilan dan ilmu untuk pemenuhan kebutuhannya
sehari-hari dalam upaya peningkatan taraf hidup yang lebih baik.
C.
Perumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah disebutkan diatas,
terdapat beberapa ketidaksesuaian antara cita-cita pendidikan dengan
perencanaan, proses, dan evaluasi pendidikan. Penulis memperhatikan setidaknya
terdapat kekurangan cakapan peran guru dalam proses mengajar terutama pada
konvensionalnya cara mereka menyampaikan materi terhadap anak didik. Sedangkan
guru yang dianggap sebagai pendidik profesional dalam upaya peningkatan
martabat manusia seringkali mengabaikan anak didik dan menganggap guru adalah
manusia yang paling benar. Jika hal ini terus dibiarkan, maka proses
transformasi nilai dan materi ajar di sekolah tidak akan berjalan maksimal.
Seperti diutarakan diatas bahwa metode ceramah hanya berjalan satu arah yakni
dari guru kepada siswa tanpa ada proses arah berlawanan. Tentunya anak didik
hanya dijadikan sebagai objek pendidikan dan bukan sebagai subjek (pelaku
pendidikan). Pola-pola transformasi pendidikan diatas membuat penulis ingin
mengetahui beberapa hal terkait dengan metode pembelajaran yang berdampak pada
prestasi anak didik. Untuk mengetahui hal tersebut, penulis membuat pertanyan penelitian
yakni,
1.
Bagaimanakah
keberhasilan guru dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa melalui metode
ceramah?
2.
Kebervariasian
metode pembelajaran akankah mampu meningkatkan hasil belajar siswa?
3.
Bagaimanakah peran
guru dalam mengaplikasikan keberagaman metode pembelajaran?
D.
Pembatasan Masalah
Penulis ingin melihat sejauhmana kebervariasian metode
pembelajaran mampu meningkatkan hasil belajar siswa dengan peran guru yang
kompetitif dalam upaya keberhasilan mentransformasikan nilai dan materi ajar
kepada anak didik. Motode ceramah dianggap sebagai metode yang jauh tertinggal
dalam memahami pola pikir anak didik. Oleh karena itu peran guru diharapkan
mampu melihat sejauhmana anak didik membutuhkan metode pembelajaran yang tepat
guna. Dalam tulisan ini, penulis melampirkan jurnal tentang keberhasilan metode
pembelajaran kooperatif di SMP NEGERI 2 BOYOLALI[6].
E.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulis bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana proses
pembelajaran yang baik itu tidak hanya bisa dilakukan dengan satu arah (guru -
murid), akan tetapi harus mempunyai timbal balik atau dua arah sehingga
tercipta situasi pendidikan yang ideal. Dengan terbukanya pola pikir guru dalam
mengaplikasikan metode-metode pembelajaran yang bervariasi diharapkan mampu mencapai
tujuan pendidikan nasional disetiap sekolah yang ada di tanah air.
BAB II
Kerangka
Teoritis
A.
Filsafat
Pendidikan
B.
Situasi Pendidikan
C.
Komponen-Komponen dalam Pendidikan
D.
Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK)
BAB III
Pembahasan
A.
Konstruksi Ideal Pendidik Formal.
Guru adalah seseorang yang dilatih dalam sebuah lembaga
pendidikan dan mengemban tanggung jawab untuk mencerdaskan anak didik. Dalam
hal ini guru seharusnya mampu menjadikan dirinya seorang yang dapat diteladani
dan mampu mentransformasikan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Pendidik
formal diwajibkan melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara
teratur guna mengetahui perkembangan anak didik dalam proses pendidikannya.
Dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik, diharapkan proses
pendidikan dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Proses pembelajaran diharapkan tidak hanya mentransformasikan materi
bahan ajar, tetapi juga melihat perkembangan dari 3 ranah pendidikan yakni,
kognitif, afektif, dan psikomotor dari anak didik.
B.
Temuan Masalah dalam Kajian
Setelah kita melihat bagaimana konstruksi ideal peran
seorang guru yang seharusnya ada di Indonesia. Kita juga harus melihat
kenyataan di lapangan bahwa tidak semua guru mampu bersikap profesional
terhadap jabatannya. Peran guru yang kita rasakan tidak sesuai dengan yang
diharapkan dalam hal perencanaan, pelaksanaan, evaluasi pembelajaran. Pada
tahap ini, penulis melihat bagaimana peran guru dalam membuat perencanaan
sebelum memulai proses pembelajaran belum maksimal. Pelaksanaan yang tidak
teratur atau hanya bersikap sebagai seseorang yang bertugas mentransfer ilmu
saja kepada anak didik membuat guru seolah orang yang paling benar. Dari segi
evaluasi, sikap guru hanya melihat dari segi kognitif anak didik tanpa
menghiraukan aspek psikomotor dan afektifnya, terutama tidak melihat tujuan
hasil pendidikan yakni perubahan sikap dan tingkah laku[14].
Metode dan strategi pembelajaran yang kaku dan konvensional seperti hanya
ceramah saja membuat anak didik tidak kondusif dalam menerima materi. Kelemahan
metode ceramah yang banyak dilakukan oleh para guru adalah tidak adanya
interaksi dua arah antara guru dan anak didik. Proses pendidikan hanya berjalan
satu arah dari guru ke murid, sedangkan guru tidak mengetahui bagaimana sikap
murid dalam menerima materi yang diajarkan.
C.
Analisis Masalah
Masalah yang ditemukan dalam penulisan ini adalah
kurangnya peran guru dalam proses pendidikan di Indonesia. Strategi dan metode
pembelajaran yang kurang bervariasi membuat proses pendidikan tidak menekannya
pada kurikulum yang sedang berlangsung pada saat ini yakni Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP menekankan bagaima siswa mampu menjadi aktif
dalam proses pembelajaran, sedangkan metode ceramah adalah metode konvensional
yang dirasakan tidak membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran. Tentu saja
hal ini menciptakan sebuah dilema antara siswa yang harus berkembang namun
peran guru seperti memasung daya kreatififtasnya. Guru sebagai seorang pendidik
profesional harusnya mampu meneliti, mengamati, dan mengevaluasi proses
pendidikan di kelas. Dalam kaitannya dengan perkembangan siswa, jelas metode
ceramah tidak akan mampu memfasilitasi perkembangan siswa.
Melihat salah satu
filsafat pendidikan yang penulis angkat mengenai progesivisme, dimana perubahan
adalah inti dari kenyataan. Pendidikan merupakan sebuah proses perubahan yang
siap dinamis dalam mengikuti perkembangan lingkungan sehingga tidak kaku dalam
metode pembelajaran dan kebijaksanaan pendidikan. Progesivisme melihat bahwa
anak didik merupakan individu yang harus bergerak bebas dan berkembang secara
wajar dan peran guru harus menjadi seorang peneliti dan pembimbing kegiatan
belajar. Ketika kita melihat keadaan sekarang dimana guru masih memakai metode
pembelajaran ceramah sebagai model pengajaran terbaik mereka, maka ini hanya
membuat anak didik merasa bosan. Anak didik tidak akan merasa bebas berfikir
karena selalu hanya dicekoki oleh materi-materi tanpa bisa menanyakan perihal
mengapa sesuatu itu dapat terjadi. Perkembangan anak didik akan sangat
terganggu bila setiap guru melakukan ceramah dalam setiap proses pembelajaran.
Ketika rasa bosan sudah menghinggapi anak didik, maka hasil belajar pun tidak
akan maksimal.
Dalam situasi pendidikan dimana kita mengetahui ciri anak
didik yang selalu ingin berkembang, memerlukan bantuan dan arahan dari orang
lain serta pribadi yang unik satu dengan yang lainnya. Bila kita memahami makna
dari ciri anak didik, seorang guru tidak akan pernah melakukan strategi
pembelajaran yang monoton (ceramah). Karena pada dasarnya setiap anak didik
berbeda satu dengan yang lainnya. Metode ceramah mungkin hanya akan efektif
untuk anak didik yang memiliki
mendengarkan yang baik, lalu bagaimana dengan nasib anak didik yang kuat
dalam visual dan kinestetik? Jelas ceramah akan sangat tidak menolong mereka
dalam menyerap materi. Disinilah peran guru sebagai pendidik formal yang memang
sudah diberikan amanah, pembekalan, dan tanggung jawab untuk mencerdaskan
bangsa secara profesional harus mampu mengembangkan kemampuannya dalam proses penyampaian
keilmuannya dalam bentuk yang baik dan menarik sehingga anak didik mudah dalam
memahami materi.
Sebuah proses pendidikan akan berlangsung baik bilamana
seluruh komponen pendidikan sudah memenuhi aspek-aspek yang terkait di dalamnya
seperti, anak didik, pendidik, alat pendidikan, dan tujuan pendidikan. Bila hal
ini telah ada, maka proses pendidikan dapat berlangsung. Akan tetapi
keberlangsungan seperti apa proses pendidikan yang terjadi jika pendidik tidak
mampu mengenal anak didik, menggunakan alat pendidikan secara tidak profesional
dan lupa akan tujuan pendidikan?. Dalam komponen pendidikan, penulis
mengkhususkan melihat peran guru sebagai pendidik. Disana terlihat bagaimana
etika guru yang seharusnya dimiliki oleh setiap guru yang sudah dianggap mampu
mengemban tugasnya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, guru
diharapkan menjadi seorang yang bisa mengamati bagaimana perkembangan anak
didik da selalu berupaya mencari jalan agar anak didik dapat menyerap ilmu
dengan mudah agar mereka menjadi pribadi yang aktif sesuai dengan landasan
kurikulum secara makro yakni KTSP. Anak didik butuh bimbingan, arahan dari
orang dewasa. Oleh karena itu, jika di sekolah guru juga hanya berperan sebagai
orang dewasa yang mendoktrin mereka tanpa dapat ditanyakan kembali atau ada
umpan balik dari anak didik, maka kesesatan akan tertanam dalam dirinya. Mereka
akan menjadi pribadi yang sesuai dengan doktrin guru-guru mereka, pasif, dan
tidak dinamis dalam pola sosialisasi.
Sebuah fenomena di Indonesia mengingat negara ini pernah
menjadi tempat banyak orang luar negeri yang menimba ilmu dikala itu. Akan
tetapi saat ini, justru kita seperti kehilangan makna pendidikan. Setiap orang
berlomba melakukan studi ke luar negeri karena mereka melihat prospek
pendidikan di Indonesia tidak menjanjikan generasi yang cerdas sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Kelemahan peran guru dalam mentransformasikan
ilmunya kepada anak didik adalah faktor terbesar kurangnya hasil belajar yang
diperoleh. Kemampuan guru dalam mencoba dan menerapkan metode atau strategi
pembelajaran yang lain sangat kurang atau mungkin guru tidak mau belajar untuk
menggunakan metode yang lain. Dalam kasus ini misalnya penulis melampirkan sebuah
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimana peneliti ingin melihat sejauhmana pola
belajar kelompok mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Ternyata
setelah dilakukan PTK selama beberapa siklus, terbukti siswa mendapatkan
kenaikan hasil belajar dan motivasi mereka untuk mengetahui lebih dalam bahkan
memahami suatu pelajaran bertambah. PTK seperti sebuah pisau untuk membedah apa
kebutuhan siswa dalam proses pembelajaran. Jika dalam kasus tersebut metode
ceramah dianggap kurang dalam proses pendidikan, maka dirubahlah menjadi
strategi pembelajaran kooperatif atau biasa disebut sebagai kerja kelompok.
Dengan bekerja secara berkelompok, maka siswa ternyata mampu lebih kreatif,
berkembang, dan bertanggung jawab daripada harus terus terpaku pada ceramah
guru.
D.
Solusi Permasalahan
Setelah kita melihat bagaimana sebenarnya kelemahan
sebuah metode pembelajaran yang dilakukan guru secara konstan. Kita akan mampu
menganalisa bagaimana yang sikap yang harus kita ambil sebagai guru agar
pendidikan tidak lagi menjenuhkan bagi anak didik. Ternyata dengan
kebervariasian metode pembelajaran akan mampu meningkatkan motivasi minat siswa
terhadap pelajaran dan peningkatan hasil belajar yang secara signifikan terus
mengalami kenaikan. Ini semua merupaka sebuah wujud atau tujuan semua pendidik,
melihat anak didiknya berkembang secara baik dan menjadi pribadi yang utuh.
Sebenarnya masih banyak metode pembelajaran yang bisa dilakukan guru untuk
merangsang minat anak didik terhadap suatu pelajaran. Peran guru sebagai
pengatur strategi merupakan titik awal perubahan dalam proses pendidika. Jika
guru hanya berfikir sebagai pengajar dan bukan juga sebagai pendidik, maka
tidak heran mereka tidak mau susah-susah mengembangkan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) da silabus untuk mencapai tujuan dan arah pendidikan yang
lebih baik. Kita semua mampu menjadi pribadi yang utuh bila saja peran pendidik
berjalan sesuai dengan fungsinya. Jika guru sudah berperan sebagai seorang yang
mengerti kondisi anak didik, maka sudah dapat dipastikan keberhasilan dalam
proses pendidikan adalah sebuah keniscayaan.
BAB IV
Penutup
A.
Kesimpulan
Analisa kasus
diatas merupakan bukti konkret dimana kebervariasian metode pembelajaran adalah
mutlak untuk diterapkan pada setiap jenjang sekolah di Indonesia. Anak didik
dan peserta didik serta komponen pendidikan di dalamnya harus memiliki hubungan
yang setara karena pada prosesnya mereka saling mempengaruhi untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional. Peran pendidik sebagai orang yang paling depan
dalam upaya meningkatkan martabat manusia adalah guru. Oleh karena itu, guru
harus dapat profesional dan mampu mengembangkan kemampuannya dalam
merencanakan, proses belajar, dan evaluasi siswa sesuai dengan kebutuhan anak
didik dan lingkungan. Peningkatan prestasi siswa dengan kebervariasian metode
pembelajaran adalah salah satu contoh bagaimana anak didik mampu menerima
metode-metode baru yang dianggapnya lebih baik dalam prosesnya menyelesaikan
sebuah masalah.
B.
Saran
Guru sejatinya adalah pendidik formal/jabatan yang
memilik tanggung jawab secara profesional untuk mengembangkan anak didik ke
arah yang lebih baik. Oleh karena itu, diharapkan guru-gur di Indonesia tidak
lagi mengajar dengan metode ceramah saja melainkan melakukan bergantian dengan
metode pembelajaran yang lain sehingga tidak menjenuhkan siswa dan prestasi
siswa pun bisa meningkat seiring tingkat pemahaman anak didik. Penggunaan
metode pembelajaran secara silih berganti akan membuat kelemahan salah satu
metode tertutup dengan metode lainnya dan inilah yang membuat resiko anak didik
tidak memahami sebuah materi semakin kecil.
Daftar Pustaka
Meilanie,
Sri Martini. 2011. Pengantar Ilmu
Pendidikan. (Jakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Jakarta).
Sanjaya,
Wina. 2009. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group).
Siregar,
Eveline dan Hartini Nara. Buku Ajar Teori
Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Jakarta).
www.jurnalpenelitian.aspx.htm. ,
Diakses pada tanggal 20 April 2012.
[1]
Eveline Siregar, Hartini Nara. 2007. Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran.
(Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta), h. 62.
[2]
..... 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang SISDIKNAS
No. 20 Tahun 2003 (Bandung:
Citra Umbara). h. 7.
[3]
Sri Martni Meilanie. 2011. Pengantar Ilmu
Pendidikan. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Jakarta). h. 1.
[4]
Ibid. h. 18.
[5]
Ibid. h. 36
[6] Sunarto. PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR
FISIKA LISTRIK DINAMIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT
TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) DENGAN LEMBAR KERJA TERSRUKTUR (LKT) PADA
SISWA KELAS IX A SMP NEGERI 2 BOYOLALI. (Tersedia di www.jurnalpenelitian.aspx.htm).
(Diakses pada tanggal 20 April 2012).
[7]
Ibid. h. 42-43.
[8]
Ibid . h. 11.
[9]
Ibid. h. 13.
[10]
Ibid. h. 18.
[11]
Ibid. h. 55.
[12]
Ibid. h. 62-63.
[13]
Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group). h. 240.
[14]
Sri Martni Meilanie. 2011. Pengantar Ilmu
Pendidikan. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta).
h. 18.
NB : Banyak Bacaan yang Saya Hilangkan Demi Menghindari Plagiat Akademik. Thanks..